Penyaluran Makin Berkurang, Beras Menumpuk Di Gudang
Stok beras di gudang-gudang Bulog Divisi Regional Jawa Timur semakin menumpuk. Hal itu terjadi karena Bulog terus membeli beras dari petani untuk menjaga stabilitas harga gabah. Disisi lain, tugas penyaluran beras untuk masyarakat miskin semakin kecil.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO,KOMPAS-Stok beras di gudang-gudang Bulog Divisi Regional Jawa Timur semakin menumpuk. Hal itu terjadi karena Bulog terus membeli beras dari petani untuk menjaga stabilitas harga gabah. Di sisi lain, tugas penyaluran beras untuk masyarakat miskin semakin kecil.
Stok beras di seluruh gudang saat ini mencapai 620.000 ton. Stok ini merupakan yang terbesar bahkan dua kali lipat dari stok normal 320.000 ton setara beras. Stok beras terus meningkat dengan adanya pembelian ke petani atau penyerapan hasil panen sebanyak 3.000 ton per hari.
“Penyerapan gabah petani ini merupakan tugas yang diberikan kepada Bulog dalam kerangka mengamankan stok pangan nasional dan menjaga stabilisasi harga gabah saat panen agar tidak jatuh,” ujar Kepala Bulog Divisi Regional (Divre) Jatim Muhammad Hasyim, Selasa (25/6/2019).
Hasyim mengatakan menumpuknya stok beras di gudang Bulog disebabkan semakin kecilnya tugas penyaluran beras untuk masyarakat prasejahtera (rastra). Sebagai gambaran pada awal 2019, Bulog Divre Jatim ditugaskan menyalurkan 50.000 ton beras per bulan untuk Kabupaten Pacitan, Tulungagung, dan empat kabupaten di Madura.
Mulai Juli nanti, penugasan penyaluran beras rastra kepada Bulog Divre Jatim tinggal 1.200 ton per hari. Itu pun hanya berlangsung tiga bulan atau sampai September. Adapun wilayah penyalurannya di wilayah kepulauan di Kabupaten Sumenep yang akses transportasinya sangat terbatas.
“Ketidakseimbangan antara tugas penyerapan dengan tugas penyaluran beras inilah yang menyebabkan stok menumpuk di gudang,” kata Hasyim.
Dari stok 620.000 ton beras, sebanyak 40 persennya telah tersimpan di gudang selama lebih dari setahun. Lama penyimpanan itu melebihi batas waktu penyimpanan beras ideal yakni tiga bulan dan penyimpanan maksimal enam bulan. Semakin lama disimpan di gudang, dampak negatifnya semakin besar.
Dampak negatif itu antara lain turunnya mutu atau kualitas beras. Untuk mengembalikan beras pada kualitas standar, diperlukan usaha yang besar dan berbiaya mahal sehingga menambah biaya produksi. Biaya perawatan penyimpanan di gudang juga terus meningkat seperti biaya fumigasi dan biaya pekerja.
Hasyim menambahkan beras yang disimpan terlalu lama di gudang beresiko rusak sehingga tidak layak dikonsumsi. Saat ini di Jatim ada 10.000 ton beras yang tidak layak konsumsi dan harus didisposal. Jumlah beras yang tidak layak konsumsi itu hampir 50 persen dari jumlah beras tidak layak secara nasional sekitar 20.000 ton.
Persoalan Bulog
Ketidakseimbangan antara jumlah beras yang diserap dengan jumlah beras yang disalurkan menyebabkan sejumlah gudang bulog di sentra produksi mulai penuh. Di Kabupaten Bojonegoro misalnya, Bulog harus meminjam gudang milik swasta yang menjadi mitra kerjanya untuk menyimpan beras.
Beban lain yang harus ditanggung oleh Bulog adalah beban bunga komersial sebab sumber pendanaan berasal dari pinjaman perbankan. Bulog juga tidak hanya menjadi penyangga pangan untuk komoditi beras melainkan ada komoditas lain seperti gula, terigu, minyak goreng, kedelai, jagung, bahkan bawang merah.
Hasyim berharap Bulog ditugaskan kembali untuk menyalurkan beras rastra dengan sistem baru yang saat ini diterapkan yakni Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Apabila harapan itu tidak terwujud, Bulog kesulitan menjalankan perannya sebagai penyangga stok pangan sekaligus menjaga stabilisasi harga komoditas pangan.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Madiun Suharno mengatakan kehadiran Bulog sebagai stabilisator harga gabah petani sangat diperlukan. Alasannya, setiap musim panen raya harga gabah petani selalu jatuh. Apabila mekanisme harga gabah ini hanya diserahkan kepada tengkulak, kondisi petani semakin terpuruk.
“Pada musim panen April-Mei lalu, harga gabah jauh di bawah harga pokok pembelian pemerintah. Oleh karena itulah seharusnya peran Bulog dalam menyerap gabah petani lebih ditingkatkan lagi supaya pengaruhnya lebih besar,” ucap Suharno.
Permasalahan menumpuknya stok beras di gudang Bulog sejatinya telah mengemuka dalam kunjungan kerja Komisi VI DPR RI ke Gudang Bulog Subdivre Surabaya Utara di Desa Buduran, Sidoarjo, Kamis (23/5/2019). Dalam kesempatan itu, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi mengatakan stok beras nasional sebanyak 2,2 juta ton atau melebihi stok yang diperlukan untuk menjaga keamanan pangan sebesar 1,5 juta ton.
Dari stok 2,2 juta ton itu, sebanyak 1,2 juta ton di antaranya merupakan beras impor sedangkan 1 juta ton beras pengadaan dalam negeri. Stok itu terus bertambah karena penyerapan beras hasil panen petani rerata 10.000-15.000 ton per hari atau targetnya 1,8 juta ton hingga akhir tahun.
Berdasarkan ketentuan perundangan, Bulog ditugaskan melakukan penyerapan gabah dan beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP), penyaluran kepada golongan anggaran, TNI dan polri. Bulog juga ditugaskan menyalurkan beras kepada masyarakat berpenghasilan rendah kelompok penerima manfaat.
Namun seiring perubahan mekanisme penyaluran bantuan rastra, penugasan terhadap Bulog berkurang tajam. Penugasan penyaluran bansos rastra tahun 2017 mencapai 2,7 juta ton setahun. Namun kini tinggal 213.000 ton setahun. Itupun yang distribusinya di daerah terpencil.