Sistem Pengendalian Banjir Samarinda Terkendala Alih Fungsi Lahan
Direncanakan sejak 2005, pembangunan lima embung sistem pengendalian banjir di Samarinda, Kalimantan Timur, terkendala keberadaan permukiman penduduk, tambang batubara, dan perkebunan sawit. Banjir besar masih mengancam karena bendungan yang bisa dibangun tahun ini jauh dari target.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Direncanakan sejak 2005, pembangunan lima embung sistem pengendalian banjir di Samarinda, Kalimantan Timur, terkendala keberadaan permukiman penduduk, tambang batubara, dan perkebunan sawit. Banjir besar masih mengancam karena bendungan yang bisa dibangun tahun ini jauh dari target.
Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III mencatat, permukiman penduduk tersebar di lokasi yang sudah direncanakan sebagai embung dan kolam retensi, seperti Embung Sempaja, Kolam Retensi Damanhuri, dan Embung Bengkuring. Sementara itu, lahan yang direncanakan sebagai Embung Muang sudah menjadi tambang batubara dan lokasi untuk Embung Pampang Kanan sudah digunakan untuk perkebunan sawit.
Kondisi tersebut membuat realisasi pembuatan penampungan untuk pengendalian banjir tersendat. Tahun ini, BWS Kalimantan III hanya bisa membangun embung serbaguna Sempaja seluas 0,7 hektar dengan nilai kontrak Rp 7,8 miliar.
Tahun ini, BWS Kalimantan III hanya bisa membangun embung serbaguna Sempaja seluas 0,7 hektar dengan nilai kontrak Rp 7,8 miliar.
”Pengerjaan sudah dimulai sejak Selasa (25/6/2019). Daya tampung airnya 27.000 meter kubik. Sementara di wilayah Sempaja butuh penampungan untuk 500.000 meter kubik air agar wilayah itu terhindar banjir,” ujar Kepala BWS Kalimantan III Anang Muchlis, Rabu (26/6/2019).
BWS Kalimantan III mencatat, tahun ini volume banjir di Sempaja mencapai 1,1 juta meter kubik. Pembangunan embung di satu titik dengan daya tampung minim dinilai tidak berdampak maksimal mengendalikan banjir. Hal itu membuat BWS Kalimantan III harus menunggu relokasi permukiman di sana untuk membuat embung pendukung lain.
Selain membuat embung, BWS Kalimantan III juga mulai mengeruk sedimen Bendungan Lempake. Saat ini, volume Bendungan Lempake hanya 676.000 meter kubik. Padahal, daya tampung maksimalnya 1,5 juta meter kubik air. Pengerukan ini diharapkan mampu mengurangi limpahan air di hulu Sungai Karang Mumus yang selalu meluap saat hujan.
Anang mengatakan, sistem pengendalian banjir itu perlu dibuat sesuai dengan rencana agar saling mendukung satu sama lain. Prinsip pengendalian banjir yang sudah dibuat sejak 2005 di Samarinda adalah menahan air hujan di banyak titik dan dikeluarkan perlahan agar tidak langsung melimpah ke Sungai Karang Mumus yang membelah Samarinda.
Sosialisasi
Pemerintah Kota Samarinda saat ini masih melakukan sosialisasi kepada masyarakat di lokasi yang akan dijadikan embung. Sistem ganti rugi rumah dan bangunan bagi warga yang terancam direlokasi masih dikaji.
”Penyuratan sedang kami lakukan untuk 2.500 rumah yang akan terdampak penanganan banjir. Skema pembiayaan relokasi sedang kami bahas juga dengan Pemerintah Provinsi Kaltim. Tahun ini, itu target kami,” ujar Sekretaris Daerah Kota Samarinda Sugeng Chairuddin.
Sebagian rumah itu berada di bantaran Sungai Karang Mumus. Hal itu membuat masyarakat di sana terdampak banjir dengan ketinggian air mencapai 1 meter. Pembangunan permukiman yang tak terkendali di sempadan sungai ini yang menjadi faktor pendukung bertambahnya korban banjir setiap tahun hingga lebih dari 50.000 jiwa.
Padahal, Pasal 34 Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda Tahun 2014-2034 mengatur kawasan sempadan Sungai Karang Mumus adalah 10 meter dari kaki tanggul terluar.
Sementara itu, Anang berharap pemerintah bisa bersinergi mengatasi banjir di Samarinda. Itu karena BWS Kalimantan III menargetkan untuk normalisasi Sungai Karang Mumus dan pembangunan embung lain tahun 2020. Jika pemerintah kota belum selesai merelokasi warga, pengendalian banjir akan terus tertunda.
Menanggapi hal itu, Sugeng mengatakan, Pemkot Samarinda akan berusaha sesuai target yang sudah disepakati pada rapat koordinasi yang dilakukan dengan pemerintah provinsi dan BWS Kalimantan III, Senin (17/6).
Pembangunan embung dan pengerukan bendungan di Samarinda menggunakan APBN. Tahun ini, APBN yang dikeluarkan untuk pengendalian banjir di Samarinda Rp 16,7 miliar. Selain untuk pembangunan embung, dana tersebut juga digunakan untuk peningkatan kapasitas Bendungan Benanga.