JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta menyatakan, gugatan perwakilan warga negara terhadap presiden, tiga menteri, dan tiga gubernur terkait polusi udara Jakarta sedang tahap finalisasi. Pengajuan gugatan ini ditujukan untuk mendorong pemerintah dan pemerintah daerah memperbaiki kebijakan dan aksi nyata dalam menekan polusi udara.
”Gugatan sudah siap, tinggal hal-hal teknis yang difinalisasi, misalnya soal surat kuasa,” ucap pengacara publik LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara, Rabu (26/6/2019). Hal-hal teknis, menurut dia, penting disiapkan agar tidak menimbulkan masalah.
Ayu mengatakan, gugatan perwakilan warga negara (citizen law suit/CLS) didaftarkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak yang digugat adalah presiden, menteri lingkungan hidup dan kehutanan, menteri kesehatan, menteri dalam negeri, serta gubernur DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Gubernur Banten dan Jawa Barat ikut digugat karena diduga menyumbang polusi udara ke wilayah DKI. Ayu mencontohkan, terdapat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara di Banten. Greenpeace Indonesia memperoleh citra satelit pada Juli-Agustus 2018 yang menunjukkan, polusi udara PLTU batubara di Suralaya, Banten, diduga terkirim angin ke Jakarta.
Di Jawa Barat, terdapat pabrik-pabrik di Bekasi yang dinilai bisa menyumbang polusi untuk Ibu Kota. Namun, sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber polusi di DKI berkontribusi pada pencemaran udara di Jawa Barat dan Banten. ”Polusi udara bersifat lintas batas,” ujar Ayu.
Ia belum bisa menjelaskan materi gugatan secara rinci, tetapi CLS ini secara umum bertujuan untuk mendorong perbaikan sistem agar pemerintah dan pemerintah daerah bisa berkoordinasi meminimalisasi dampak pencemaran udara.
Selain itu, para penggugat juga mendorong perbaikan peraturan atau kebijakan dalam mengatasi polusi udara. Ayu mencontohkan, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara masih mengatur bahwa ambang batas partikulat (PM) 2,5 di Indonesia dalam pengukuran 24 jam sebesar 65 µg/Nm3, sedangkan standar WHO hanya 25 µg/Nm3.