Jejak Konflik Itu Tak Berkesudahan
Konflik gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan manusia bagai tak berkesudahan. Terekam sejak 2,5 abad silam, konflik yang tak kunjung berakhir itu justru mengancam punahnya sang mamalia raksasa.
William Marsden mencatat jejak konflik itu dalam bukunya berjudul The History of Sumatra (1783). Ia mengungkap kebiasaan satwa raksasa itu berkelompok dalam jumlah besar kerap menimbulkan kerusakan. Apalagi, gajah menyukai tanaman masyarakat, terutama pisang dan tebu. Kedua jenis tanaman itu kerap memancing nafsu makan mereka, tetapi akhirnya membahayakan keselamatan mereka sendiri.
Dalam pengamatan yang dimulai tahun 1771 itu, Marsden mengungkap praktik meracuni gajah di Sumatera. Para pemilik lahan mengetahui kegemaran gajah mengonsumsi tanaman tebu. Mereka menaruh racun dengan membelah batang tebu, lalu melumuri celah-celahnya dengan arsenik kuning. Sewaktu melintas, gajah akan memakannya lalu mati.
Hampir 250 tahun kemudian, konflik semakin memanas di berbagai kantong habitat gajah. Dari 56 habitatnya di Sumatera, 13 di antaranya tak lagi ditemukan populasi gajah alias diduga punah. Di sejumlah habitat lain yang masih ada populasi gajah, kondisinya kian mengkhawatirkan. Konflik terjadi seiring menyusutnya hutan sebagai habitat satwa itu.
Konflik bahkan menyentuh titik-titik baru, salah satunya di Kelurahan Sungai Bengkal, Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Petani sawit setempat, Maulana, hampir putus asa melihat kebunnya habis terinjak-injak kawanan gajah. Dalam sepekan, gajah sudah tiga kali masuk. Tanaman sawit yang masih berusia dua tahun itu tak terselamatkan.
”Sudah hampir 50 batang tanaman sawit saya rusak,” katanya, Sabtu (15/6/2019). Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi telah mengecek ke lokasi, tetapi belum dapat mengambil langkah cepat untuk mengatasinya. Maulana pun hampir setiap malam harus menyalakan mercon di kebun untuk menghalau gajah masuk. Lengah sedikit saja, kawanan itu akan kembali muncul.
Tanah adat itu dulunya hutan. Dua tahun lalu, Maulana dan sejumlah petani membukanya untuk budidaya sawit dan karet. Sejak itulah konflik dengan satwa mulai terjadi. Namun, Maulana tak mau ambil pusing. Ia meminta petugas BKSDA segera memindahkan gajah dari kebun sawitnya.
Kepala Seksi II BKSDA Jambi Wawan Gunawan mengkhawatirkan pembukaan kebun yang meluas membuat kawanan gajah makin terdesak. Hampir tak ada lagi jalan bagi gajah masuk ke hutan. Jalur-jalur jelajah gajah berubah menjadi kebun. Tragisnya, setiap kali hendak melintas, kawanan gajah itu akan selalu diusir warga, memaksa mereka berbalik arah.
Provokasi
Dalam bukunya, Marsden menyebut, gajah tergolong tidak agresif. Gajah jarang menyerang manusia kecuali diserang lebih dulu atau diprovokasi.
Di sisi lain, masyarakat lama, termasuk komunitas adat Talang Mamak di perbatasan Jambi dan Riau, sudah hafal dengan kebiasaan dan kegemaran satwa itu. Termasuk pula jalur-jalur yang menjadi pelintasan sehingga mereka hidup berdamai turun-temurun dengan gajah.
Karena menyadari besarnya kebutuhan pakan bagi satwa raksasa itu, masyarakat pun melindungi sebagian hutan habitatnya. Ada aturan tidak tertulis yang menegaskan bahwa jalur-jalur pelintasan, termasuk sepanjang aliran sungai, tidak boleh dibuka jadi kebun. Sebab, di sekitar jalur itulah gajah senang menjelajah, beristirahat, dan mandi di sungai.
”Jalur dekat sungai tidak boleh dibuka kebun supaya gajah tidak terganggu,” kata Urista, Kepala Desa Suo-suo, Sumay, Tebo. Urista pun menyimpulkan, selama kebun tidak bersinggungan dengan jalur gajah, konflik bisa dihindari. Konflik biasanya hanya terjadi ketika ada warga yang membuka kebun di jalur habitat sang satwa. Namun, kejadiannya sedikit saja.
Masalah muncul saat pembukaan hutan besar-besaran oleh korporasi. Urista ingat betul pada 2010, 70.600 hektar hutan dijadikan lahan tanaman industri di ekosistem Bukit Tigapuluh, persis di jantung habitat gajah sumatera. Alih fungsi hutan itu memicu pula arus pendatang untuk merambah sehingga konflik dengan gajah tak terhindarkan.
Di hampir seluruh wilayah Sumatera, habitat gajah terfragmentasi parah. Kondisi itu mengacaukan pergerakan kelompok-kelompok satwa liar itu. Terjadi perubahan perilaku dan pola pakan karena habitatnya berubah menjadi monokultur.
Akibat penyusutan habitat, konflik menyebar di berbagai daerah. Dari ujung selatan hingga utara Pulau Sumatera. Sepanjang April hingga Juni ini, rangkaian konflik terjadi di Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, hingga Aceh.
April lalu dilaporkan konflik berlangsung pada ekosistem Bukit Barisan Selatan dan Hutan Lindung Kota Agung Utara. Di Tanggamus, sejak dua tahun terakhir gajah kerap merusak tanaman pisang warga perambah kawasan hutan lindung.
Temuan berikutnya, Mei, seekor gajah betina ditemukan mati dalam areal konsesi hutan tanaman industri di Bukit Tigapuluh. Penyelidikan pun dilakukan untuk mengungkap kematian gajah itu, termasuk keberadaan sisa cairan racun rumput yang berceceran di tanah dan pondok perambah yang diduga dirusak oleh gajah.
Sengketa lahan dalam Hutan Suaka Alam Bukit Serelo, Sumsel, April lalu, bahkan menyebabkan delapan gajah diungsikan. Bulan sebelumnya, ditemukan 4 dari 10 gajah sakit diduga karena diracun.
Yang terbaru, awal Juni, konflik menyebar di tiga lokasi perambahan dalam habitat gajah di Minas, Giam Siak Kecil, dan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Gajah marah dan merusak rumah dan kebun yang sedang ditinggal pemiliknya mudik. Konflik tidak hanya merugikan petani, tetapi juga mengancam keselamatan gajah.
Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia Krismanko Padang menyebutkan, gajah sumatera menjadi subspesies gajah di dunia yang berkategori paling terpuruk menurut status konservasi. Meski satwa itu statusnya dilindungi, habitatnya tidak berstatus dilindungi. Akibatnya, ancaman konflik dan kematian pun membayangi spesies itu.
Populasi menyusut
Populasi gajah pun menurun drastis. Sebelumnya, populasi gajah diketahui sekitar 2.600 individu. Sejak 2017, populasi tersisa tak sampai 1.500 individu. Dalam pembahasan rumusan Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK), Mei lalu, para pemangku kepentingan menyadari pembangunan yang berjalan pesat, termasuk di Sumatera, mempersempit ruang hidup satwa dilindungi. Hutan dan satwa yang menjadi ”kunci” penjaga keseimbangan alam cenderung terabaikan, lamban diperhitungkan sebagai bagian yang harus dirawat.
Sebagai langkah cepat, menurut Krismanko, harus diupayakan tindakan darurat dan memprioritaskan pelaksanaan Rencana Aksi Mendesak. Sejumlah kantong habitat berpopulasi besar perlu penanganan serius. Di Sumatera ada 14 kantong besar, yakni 6 kantong di Aceh, 2 di Riau, 2 di Lampung, serta masing-masing 1 kantong di Jambi, Bengkulu, dan Sumsel.
Sementara pada kantong habitat kecil, seperti di Ketapahan dan Mahato di Riau, Gunung Raya di Lampung, serta Sembilang di Sumsel, bisa dilakukan upaya translokasi menuju kantong habitat yang potensial.
Untuk mengatasi konflik, disusun konsep kawasan ekosistem esensial (KEE) gajah yang diperluas di ekosistem Bukit Tigapuluh. Dalam kawasan itu akan dilengkapi pagar listrik, pusat pendidikan dan konservasi gajah, serta ekowisata. Rencana pembangunan KEE itu pun disambut positif Bupati Tebo Sukandar. Ia berharap konflik satwa dan manusia dapat segera berakhir.