Maraknya kulit sintetis yang masuk ke Indonesia dalam dua-tiga tahun terakhir dinilai mengancam kulit asli produksi dalam negeri yang sebelumnya menguasai pasar Tanah Air.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Maraknya kulit sintetis yang masuk ke Indonesia dalam dua-tiga tahun terakhir dinilai mengancam kulit asli produksi dalam negeri yang sebelumnya menguasai pasar Tanah Air. Saat ini penetrasi produk yang menggunakan kulit sintetis dari luar negeri di Indonesia mencapai 60 persen dari sebelumnya hanya sekitar 20 persen.
Ketua Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia Budi Purwoko mengatakan pemasaran kulit saat ini tengah surut. Jika 5-10 tahun lalu produk yang memanfaatkan kulit lokal di pasaran mencapai 80 persen maka saat ini tinggal sekitar 40 persen. Kulit sintetis yang masuk ke Indonesia berasal dari sejumlah negara, seperti China, India, dan Pakistan.
“Situasi saat ini marketnya kurang bagus karena ada ancaman kulit sintetis. Anda lihat sendiri, sepatu cats saat ini banyak yang menggunakan kulit sintetis. Sehingga kulit (produksi lokal) tidak terserap pasar. Saat ini banyak kulit sintetis dipakai untuk membuat sepatu dan tas,” ujarnya.
Situasi saat ini marketnya kurang bagus karena ada ancaman kulit sintetis. Anda lihat sendiri, sepatu cats saat ini banyak yang menggunakan kulit sintetis. Sehingga kulit (produksi lokal) tidak terserap pasar. Saat ini banyak kulit sintetis dipakai untuk membuat sepatu dan tas
Budi mengatakan hal itu di sela-sela kegiatan Desiminasi Hasil Litbang Balai Besar Kulit Karet dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta di Malang, Jawa Timur, Kamis (27/6/2019). Kegiatan ini diikuti sekitar 24 pengusaha samak kulit di Jawa Timur dan pihak BBKKP sendiri.
Menurut Budi, hanya pasar lokal kecil-kecil yang saat ini masih sering menyerap kulit dari anggotanya. ”Kalau yang besar berkurang. Bahkan ada pembeli dari Belanda yang dulu sering mengimpor kulit dari Indonesia saat ini sudah tidak lagi melakukannya,” ucapnya.
Kulit sintetis memang memiliki harga lebih murah dari kulit asli. Begitu pula bentuknya menyamai kulit asli sehingga sulit dibedakan masyarakat umum. Sementara harga kulit asli lebih tinggi dari kulit sintetis. Kulit asli lebih banyak dipakai sebagai bahan baku produk yang bermerek.
Melalui kegiatan diseminasi kali ini, lanjut Budi, pihaknya juga bermaksud menggali keluhan dari anggota mengenai persoalan yang tengah mereka hadapi. ”Jadi harapan para anggota itu seperti apa. Nanti akan kami tindak lanjuti. Akan kami godok dan olah lagi,” ucapnya.
Disinggung mengenai pasokan kulit dari rumah potong hewan, Budi mengatakan, bahan baku kulit masih melimpah. Setiap hari ada aktivitas pemotongan hewan. Hanya saja, dari sisi kualitas, kulit sapi yang ada agak kurang bagus lantaran petugas di rumah potong—saat pengulitan—lebih mengutamakan daging ketimbang kulit (kulit menjadi kurang rapi).
Sementara itu, Kepala BBKKP Yogyakarta Agus Kuntoro mengatakan, pihaknya saat ini tengah menyosialisasikan hasil litbang berupa alat pengukur suhu kerut digital guna mengukur kualitas kulit. Dengan alat ini, pengukuran kualitas kulit bisa lebih presisi karena ada angka digital yang bisa dibaca.
”Sebelumnya, untuk mengukur kualitas kulit hanya melalui proses dipanaskan, dikerutkan, dan dilihat secara visual. Jadi dilakukan secara manual. Kalau yang bukan ahli, susah mengukur keakuratannya,” ucapnya.
Menurut Agus, masalah yang dihadapi perajin kulit cukup banyak, mulai dari bahan baku, jenis sapi, sampai ke metode pemotongan hewan, pengawetan, dan jual beli dari kulit itu sendiri. ”Kini juga ada persaingan dengan kulit sistetis. Perkembangan kulit sintetis hampir menyamai asli. Karena kita juga susah membedakan imitasi dengan asli,” ucapnya.