Warga Hong Kong terus melawan Pemerintah Hong Kong setelah melakukan aksi protes selama tiga pekan. Warga tetap menuntut pemerintah menarik Rancangan Undang-Undang Ekstradisi, tidak hanya menunda pembahasannya.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
HONG KONG, KAMIS — Warga Hong Kong terus melawan Pemerintah Hong Kong setelah melakukan aksi protes selama tiga pekan. Warga tetap menuntut pemerintah menarik Rancangan Undang-Undang Ekstradisi, tidak hanya menunda pembahasannya.
Hong Kong kembali dilanda aksi protes pada Kamis (27/6/2019). Ribuan demonstran berkumpul di luar Kantor Menteri Kehakiman, mendesak karyawan pergi, dan memblokade jalan. Polisi berbaris untuk menghalangi para demonstran. Kerusuhan kecil sempat terjadi di antara kedua pihak.
”Tarik hukum jahat, bebaskan para martir, Teresa Cheng keluar,” teriak para demonstran merujuk kepada Sekretaris Kehakiman Hong Kong Teresa Cheng. Adapun Cheng merupakan salah satu pejabat pemerintah yang meminta maaf kepada publik mengenai RUU Ekstradisi dan menjanjikan pemerintah akan terbuka atas kritik.
Para demonstran memegang spanduk bertuliskan, antara lain, ”Berjuang untuk Keadilan”, ”Bebaskan Hong Kong”, dan ”Demokrasi Sekarang”. Mereka juga mengecam kekerasan apa yang dilakukan oleh kepolisian kepada para demonstran.
Kepala Kepolisian Hong Kong Stephen Lo memperingatkan, akan ada konsekuensi jika demonstrasi berakhir ricuh. Lo juga mengecam bahwa suasana permusuhan yang ada membuat kepolisian sulit menjalankan tugas.
Aksi protes di depan Kantor Menteri Kehakiman ini menjadi lanjutan dari aksi protes yang di depan sejumlah kantor konsulat negara anggota G-20, Rabu (26/6/2019). Warga sebelumnya juga telah melakukan sejumlah aksi protes di depan Kantor Dewan Legislatif, markas kepolisian, dan kantor pemerintahan lain selama beberapa pekan terakhir.
Seperti yang diwartakan sebelumnya, warga menolak RUU Ekstradisi karena dapat membuat Hong Kong mengekstradisi warganya dan warga asing ke sejumlah negara, termasuk China.
Mereka khawatir China menganut hukum dan sistem peradilan yang berbeda sehingga tidak mengedepankan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan hak asasi manusia (HAM).
Hong Kong menjadi bagian dari China sejak diserahkan Inggris pada 1997. Kesepakatan yang dibuat, China dan Hong Kong adalah satu negara dengan dua sistem pemerintahan yang berbeda. Hong Kong baru akan bergabung sepenuhnya dengan China pada 2047.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menunda amendemen RUU Ekstradisi tersebut pada 15 Juni 2019 setelah menghadapi aksi penolakan besar-besaran. Lam baru meminta maaf kepada publik pada 18 Juni 2019. Sejak itu, Lam tidak pernah muncul di hadapan publik hingga saat ini.
Ambil cuti
Anggota parlemen dari Partai Sipil, Kwok Ka-ki, mengatakan, Lam yang tidak pernah menampakkan diri di depan publik sebaiknya mengambil cuti panjang. Lam juga dinilai dapat mengajukan pengunduran diri.
”Dengan menolak untuk muncul, menolak mengakui tuntutan, dan menolak membuat keputusan, (Lam) benar-benar tidak bertanggung jawab. Absennya Lam hanya akan melukai Hong Kong lebih dalam,” kata Kwok kepada Radio Television Hong Kong.
Beberapa anggota parlemen berencana mengajukan mosi tidak percaya terhadap Lam, yang dijadwalkan berlangsung pada pekan depan. Namun, mosi ini diperkirakan tidak akan lolos karena pendukung pemerintah memiliki mayoritas suara di Dewan Perwakilan Rakyat. (REUTER/AP)