JAKARTA, KOMPAS — Sebuah karya cerpen harus mengandung nilai-nilai yang bersifat abadi. Nilai-nilai tersebut kadang tertutup oleh fenomena-fenomena yang berputar-putar setiap hari yang dinamakan aktualitas.
Demikian salah satu penegasan yang disampaikan jurnalis senior Bre Redana saat menyampaikan materi dalam kelas Penulisan Kreatif : Cerita Pendek, Kamis (27/6/2019) di Ruang Kompas Institute, Jakarta dalam rangka HUT ke-54 Harian Kompas. “Soal aktualitas, kembali ke selera subyektif pembaca cerpen. Umumnya, orang koran (media cetak) terpengaruh dalam citarasa subyektivitas bahwa aktualitas itu penting, bahwa yang baik harus aktual. Tapi, yang jelas sebuah karya cerpen harus mengandung nilai-nilai yang bersifat abadi,” paparnya.
Sejak pertama kali terbit pada 28 Juni 1965, harian Kompas sudah memuat tulisan fiksi dan kemudian cerita bersambung. Setelah sempat terhenti sebentar, mulai 23 Januari 1973, Kompas memuat cerpen karya Arswendo Atmowiloto, yang kemudian tanpa henti memuat cerpen disusul kemudian dengan puisi dan cerita bersambung.
“Arswendo sangat produktif menulis cerpen. Beberapa kali dia juga membuat cerita bersambung di Kompas. Salah satu karyanya berjudul Opera Jakarta yang kemudian difilmkan oleh Sjumandjaja,” ujar Bre Redana.
Sekitar tahun 1970-1980 semangat populisme terasa kental sekali di harian Kompas. Pada masa itu, Kompas jarang membicarakan masalah-masalah ekonomi makro, dan hanya berita-berita mikro yang banyak diberitakan.
Tren inilah yang kemudian memunculkan bias di dapur redaksi yang kemudian berpengaruh pada pemilihan cerpen-cerpen di Kompas. Pada masa itu, pada umumnya redaktur cerpen cenderung memilih cerpen-cerpen yang bercerita tentang nasib kalangan bawah atau para urbanis yang terlunta-lunta di Jakarta.
“Sekitar tahun 1970-1980 Kompas banyak mendapatkan simpati dari banyak kalangan. Di masa Orde Baru yang sarat represi, Kompas meminta pandangan dari pada pemikir dan ahli untuk menyuarakan suara kaum bawah. Ada kanalisasi suara dari bawah melalui orang-orang itu,” kata Bre.
Ribuan cerpen
Saat ini, redaktur cerpen Kompas menerima kiriman antara 10-15 cerpen setiap hari atau 3.650-5.475 cerpen setiap tahun dari seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, dalam setahun hanya bisa dimuat sebanyak 52 cerpen.
Kiriman puisi yang masuk ke Kompas bahkan lebih banyak lagi. Redaktur puisi menerima kiriman 15-25 puisi setiap hari yang sebagian kecil di antaranya kemudian dimuat di harian Kompas edisi Sabtu.
Tentu sangat melelahkan sekali menyeleksi 300-450 cerpen dalam sebulan. Apabila seorang redaktur tugas dinas luar kota selama satu minggu saja, maka dia akan terlewat membaca 70-105 cerpen, dan jika pergi dua minggu akan terlewat 140-210 cerpen.
Dengan segala kondisinya ini, cerpen sebagai sebuah karya seni harus dipertanggungjawabkan secara subyektif dengan subyektivitas yang bisa dipertanggungjawabkan. “Umumnya, semua pilihan bisa dipertanggungjawabkan secara estetik. Sehingga cerpen-cerpen di Kompas selalu mendapatkan apresiasi,” ujar Bre.
Tak bisa dimungkiri, dengan memberi ruang pada penerbitan cerpen, koran-koran berhasil melahirkan penulis-penulis yang dikenal sampai sekarang. Sebut saja Seno Gumira Ajidarma, Indra Tranggono, Gus tf Sakai, Ratna Indraswari Ibrahim, Linda Christanty, Yanusa Nugroho, Agus Noor, dan belakangan ada Faisal Oddang dan Muna Masyari.
Triyanto Triwikromo adalah salah satu cerpenis yang selama ini malang-melintang di berbagai media massa. Dosen sekaligus jurnalis ini mengawali debut sastranya sebagai seorang penyair.
“Saya merasa ada hal-hal di luar puisi yang tidak bisa diwadahi puisi. Pada tahun 1984-1985 saya masih dekat dengan puisi. Tapi, mulai 1987 saya mulai menulis cerpen berjudul Medusa atau Semar. Ini jadi titik awal persentuhan saya dengan dunia cerpen,” kata cerpenis peraih penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas 2017 ini.
Menurut Triyanto, dalam dunia cerpen ada dunia alternatif. Apa yang tak bisa dipertemukan di dunia nyata bisa dipertemukan di dunia cerpen. Bagaimana mungkin mempertemukan Medusa dan Semar dalam dunia nyata? Tapi di dunia teks keduanya bisa dipertemukan.
Dalam dunia cerpen ada dunia alternatif. Apa yang tak bisa dipertemukan di dunia nyata bisa dipertemukan di dunia cerpen.
Dalam kelas Penulisan Kreatif : Cerita Pendek, Kompas Institute juga menghadirkan Raisa Kamila, cerpenis sekaligus peneliti sejarah lulusan Universitas Leiden Belanda. Melalui kelas ini, para pembicara berpengalaman yaitu Bre Redana, Raisa, dan Triyanto memberikan gambaran mengenai bagaimana penggunaan riset sebagai metode penulisan cerita, kiat-kiat mengolah sejarah sosial menjadi karya kreatif, hingga mengelola unsur-unsur penting dalam cerpen untuk membangun kekuatan karya. Di antara tiap sesi penyampaian materi, peserta kelas akan ditantang untuk praktik langsung menulis cerpen dan mendapat ulasan langsung dari pembicara.