Gubernur Kalteng Janji Selesaikan Konflik dalam Tiga Bulan
Gubernur Kalimantan Tengah berjanji akan menyelesaikan konflik lahan dan mengembalikan tanah-tanah milik masyarakat yang dirampas perusahaan atau pemegang ijin konsesi. Terdapat lima laporan dari lima kabupaten di Kalteng yang diserahkan pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·2 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Gubernur Kalimantan Tengah berjanji akan menyelesaikan konflik lahan dan mengembalikan tanah-tanah milik masyarakat yang dirampas perusahaan atau pemegang ijin konsesi. Terdapat lima laporan dari lima kabupaten di Kalteng yang diserahkan pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
Hal itu disampaikan Gubernur Kalteng Sugianto Sabran saat berkunjung ke kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Jumat (28/6/2019) pagi. Sugianto datang sebelum aksi warga dari lima kabupaten dimulai.
Warga dari Kabupaten Barito Timur, Katingan, Seruyan, Kapuas, dan Kotawaringin Timur berkumpul di kantor Walhi Kalteng untuk melakukan aksi ke kantor gubernur. Namun, sebelum mereka memulai aksi, gubernur yang mengetahuinya langsung menemui warga.
Dalam pertemuan itu, warga bersama Walhi menyerahkan lima kasus konflik lahan dan kerusakan lahan di Kalteng dari total 344 kasus. Selama dua tahun Walhi Kalteng mendokumentasikan kasus-kasus itu terjadi di lahan seluas 151.524 hektar.
“Dalam waktu 1-3 bulan laporan yang masuk ini akan kami upayakan diselesaikan,” kata Sugianto.
Sugianto menjelaskan, dengan banyaknya investasi, dinamika di Kalteng harus berdampak positif kepada masyarakat. Namun, dengan banyak konflik yang merugikan, hal itu menurutnya harus ditindaklanjuti.
“Seperti di Katingan yang tidak mau kasih plasma, saya telepon bupati, kalau perlu tutup saja jalannya, jangan lewat jalan negara,” ungkap Sugianto.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono menjelaskan, lima laporan yang masuk sudah termasuk kajian dan analisa Walhi Kalteng. beberapa diantaranya persoalan plasma, tanah yang dirampas, dan kegiatan pertambangan yang merusak sungai.
“Kami menunggu upaya yang akan dilakukan oleh pemerintah agar bisa diselesaikan dengan baik,” ungkap Dimas.
Tokoh Perempuan Adat Dayak Ma’anyan, Mardiana D Dana mengungkapkan, di Dusun Karasik, Kabupaten Barito Timur, sungai-sungai rusak karena aktivitas pertambangan. Ia menjelaskan, ratusan petani kehilangan ladangnya karena wilayah kelola mereka masuk dalam konsesi pertambangan.
“Air jadi sumber kehidupan kami, kami hanya ingin agar permukiman keluar dari konsesi. Sejak 2011 kami sudah berjuang tetapi tidak ada perubahan,” ungkap Mardiana.
Kompas pernah mendatangi beberapa lokasi di Gunung Karasik, Kabupaten Barito Timur, khususnya lokasi Sungai Paku. Di bagian hulu sungai, perusahaan pertambangan batu bara membuat jalan untuk kendaraan operasional pertambangan tanpa membuat jembatan.
Hanya ada gorong-gorong yang sebagian rusak tertindih tanah. Akibatnya, material tanah masuk ke dalam sungai, tak jarang juga material atau batu bara yang dibawa truk-truk perusahaan masuk ke sungai yang dikonsumsi warga.
“Ini mata air satu-satunya yang tersisa, mata air lain sudah rusak. Ini hak hidup kami yang dirusak,” kata Mardiana.