Idris Ilyas, Mengejar Gelar Sarjana dengan ”Kompas”
Perkenalan Idris dengan Kompas bermula ketika berjuang meraih gelar sarjana ekonomi di Jurusan Ekonomi Perusahaan (sekarang Akuntansi) Fakultas Ekonomi Universitas Andalas tahun 1970. Sebagai sarjana ekonomi dan polisi, artikel terkait ekonomi dan politik menjadi favorit bagi Idris.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
Masa kuliah tahun 1970-an menjadi titik pangkal yang ”memperjodohkan” Idris Ilyas (76) dengan harian Kompas. Perkenalan itu mengantarkan Idris, pensiunan polisi, menjadi salah satu pelanggan setia Kompas di Sumatera Barat hingga sekarang.
Perkenalan Idris dengan Kompas bermula ketika berjuang meraih gelar sarjana ekonomi di Jurusan Ekonomi Perusahaan (sekarang Akuntansi) Fakultas Ekonomi Universitas Andalas tahun 1970. Agar lancar menjalani ujian komprehensif, mahasiswa calon sarjana mesti menguasai isu-isu nasional dan internasional. Kompas yang terbit dengan rubrik lengkap menjadi rujukan saat itu.
”Para senior yang memperkenalkan saya dengan Kompas. Mereka baca Kompas karena sebagian besar isu nasional dan internasional yang ditanyakan dosen penguji ada di Kompas. Saya pun disarankan mulai membaca Kompas untuk persiapan ujian,” kata Idris ketika ditemui Kompas di kediamannya, Berok, Gunung Pangilun, Padang, Sumbar, Senin (24/6/2019).
Para senior yang memperkenalkan saya dengan Kompas. Mereka baca Kompas karena sebagian besar isu-isu nasional dan internasional yang ditanyakan dosen penguji ada di Kompas.
Saran itu pun diikuti Idris, meskipun tidak mudah baginya untuk berlangganan Kompas. Idris tidak ingat berapa harganya, tetapi untuk ukuran mahasiswa, harga berlangganan Kompas tergolong mahal. Mahasiswa angkatan 1965/1966 itu pun akhirnya patungan dengan rekan sejawat dan membaca Kompas bergantian.
Keputusan Idris mengikuti saran seniornya tidak sia-sia. Sekitar 25 persen bahan ujian yang ditanyakan dosen memang bersumber dari Kompas. Wawasan yang diperoleh dari membaca turut andil melancarkan jalan Idris mengikuti ujian komprehensif. Pria asal Solok itu diwisuda pada tahun 1972.
Romantisisme Idris dan Kompas tidak berakhir sampai di situ. Meskipun gelar sarjana sudah di tangan, Idris tetap setia berlangganan. Sempat terhenti setelah lulus, pria kelahiran Palembang, 28 Desember 1942, itu kembali berlangganan setelah diterima bekerja sebagai polisi di bagian reserse ekonomi. Kali ini, Idris bisa berlangganan sendirian.
Polisi dan Kompas
Berita, analisis, dan artikel opini para pakar di Kompas pun mewarnai hari-hari Idris selama karier kepolisiannya. Tugas di Kepolisian Daerah Aceh selama delapan tahun dan di Kepolisian Daerah Sumbar hingga pensiun tahun 2000 (tujuh tahun terakhir kariernya di DPR Bukittinggi dan DPR Kabupaten Solok saat dwifungsi ABRI) diselingi dengan membaca tulisan di Kompas.
”Di bagian reserse ekonomi, tugas saya menangani kasus yang berkaitan dengan keuangan, penyelundupan, kredit macet, penyalahgunaan kredit, dan sejenisnya. Artikel di Kompas cukup membantu untuk pekerjaan saya, terutama untuk menambah wawasan,” ujar Idris, yang sekarang menjadi Penasihat Pengurus Persatuan Pensiunan Polri Polda Sumbar.
Di bagian reserse ekonomi, tugas saya menangani kasus yang berkaitan dengan keuangan, penyelundupan, kredit macet, penyalahgunaan kredit, dan sejenisnya. Artikel di Kompas cukup membantu untuk pekerjaan saya, terutama untuk menambah wawasan.
Sebagai sarjana ekonomi dan polisi, artikel terkait ekonomi dan politik menjadi favorit bagi Idris. Menurut dia, dua bidang itulah yang menunjang keamanan dan kesejahteraan bangsa. Adapun rubrik yang paling digemari Idris selain berita utama adalah Tajuk Rencana dan Opini. Dari dua rubrik itu, Idris bisa menyerap gagasan baru dan bernas dari penulis yang umumnya sudah pakar.
”Untuk rubrik Opini, penulis yang sangat berkesan bagi saya ahli ekonomi Kwik Kian Gie. Meskipun keturunan China, jiwanya Indonesia. Dia jujur dan apa adanya. Ulasan-ulasan dari Kwik jadi prioritas bagi saya ketika membaca, terutama tentang pengembangan ekspor dan industri yang menyerap banyak lapangan kerja. Namun, tiga tahun terakhir, tulisannya sudah jarang saya lihat di Kompas,” kata Idris, yang terakhir berpangkat ajun komisaris besar polisi.
Daya tarik
Idris mengaku, pengetahuan dan wawasan yang diperolehnya dari membaca Kompas kerap ia ”kuliahkan” ke anggota keluarga, sahabat, dan orang terdekatnya. Idris menganggap itu sebagai sedekah jariah dalam upaya menyebarkan informasi tepercaya.
Ia prihatin, masih banyak masyarakat yang enggan membaca. Idris berharap, Kompas juga konsisten menerbitkan artikel yang bisa merangsang orang untuk gemar membaca.
Menurut Idris, daya tarik Kompas antara lain rubrik yang lengkap (mulai dari ekonomi, politik, internasional, Nusantara, kesehatan, hingga komik), berita akurat, berimbang, dan meneduhkan, serta mewakili seluruh kelompok masyarakat. Masih terjaganya hal itu dengan baik sampai sekarang menjadi salah satu pertimbangan Idris terus berlangganan.
Ia berharap Kompas tetap mempertahankan identitas itu. ”Menurut saya, (keterwakilan) sudah merata, tetapi tetap perlu dijaga. Jangan tebang pilih. Kalau tebang pilih, akan ada tudingan keberpihakan,” ujar Idris.
Menurut saya, (keterwakilan) sudah merata, tetapi tetap perlu dijaga. Jangan tebang pilih. Kalau tebang pilih, akan ada tudingan keberpihakan.
Meskipun demikian, sebagai perusahaan media, Kompas tetap mendapat masukan dari Idris. Beberapa bulan terakhir, ia kerap menerima koran sekitar pukul 18.00. Idris menduga, persoalan itu terjadi karena faktor developer, jarak yang jauh dari Jakarta, pesawat terlambat, ataupun hambatan cuaca saat pengantaran.
”Tapi tidak apa-apa bagi saya. Saya bisa baca malam ataupun pagi. Saya maklum, mungkin karena Kompas dari Jakarta atau yang mengantar kena hujan. Tapi tidak terlalu masalah, hubungan saya baik dengan pengantar, sudah bertahun-tahun diantar dia (loper). Saya tahu mata pencarian dia dari sana,” ujar Idris.