Menggugah Imajinasi Pembaca, Cerpen Harus Dilestarikan
Karya cerita pendek atau cerpen penting untuk terus dijaga dalam dunia sastra. Ini karena cerpen memberi ruang untuk menggugah imajinasi pembaca serta turut merawat keanggunan dalam bahasa Indonesia.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Karya cerita pendek atau cerpen penting untuk terus dijaga dalam dunia sastra. Ini karena cerpen memberi ruang untuk menggugah imajinasi pembaca serta turut merawat keanggunan dalam bahasa Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam bincang santai ”Kesaksian! Cerpenis Berbagi” yang diadakan harian Kompas dalam rangka peringatan ulang tahun ke-54 Kompas di Jakarta, Jumat (28/6/2019). Dalam kegiatan ini, turut diundang cerpenis Ahmad Tohari dan Vika Wisnu serta penyair Joko Pinurbo.
Menurut Ahmad Tohari, peran cerpenis sejak dulu hingga sekarang masih relevan. Dalam media massa cetak, misalnya, kehadiran cerpen menjadi kolom tersendiri bagi pembaca. Hal ini menjadi ruang untuk menggugah imajinasi pembaca.
”Adanya cerpen di media massa berkontribusi pada pengembangan sensitivitas rasa ke pembaca. Hal tersebut juga berkaitan dengan tingkat literasi pembaca, baik cerpennya beraliran realis ataupun surealis,” ucap Tohari saat diwawancarai seusai acara.
Sementara itu, Joko Pinurbo berpendapat, cerpen dalam taraf tertentu dapat menjadi medium katarsis atau penyembuhan bagi pembaca. Joko memercayai pendapat filsuf Hannah Arendt, bahwa derita dapat tertanggungkan kala ia menjelma menjadi cerita.
”Cerita, terutama dalam konteks sastra, membuat saya sadar bahwa hidup ini memiliki banyak kemungkinan. Hal ini yang saya harap juga dapat dirasakan pembaca. Terutama bila di koran, kehadiran cerpen dan karya sastra lain menjadi penting sebagai alternatif bacaan selain berita,” tutur Joko.
Merawat bahasa
Sementara itu, cerpenis Vika Wisnu menuturkan, tulisan cerpen berperan dalam merawat keanggunan berbahasa Indonesia. Dalam beberapa cerpen, penulis dapat menggunakan kosakata khas kedaerahan yang dibaurkan dengan bahasa Indonesia.
Ia mencontohkan, cerpen dapat memadukan istilah bahasa daerah, seperti adanya bahasa Osing asal Banyuwangi, Jawa Timur. Penggunaan kata ini dapat memunculkan kebiasaan baru bagi pembaca.
Dengan adanya peran cerpen sebagai perawat bahasa, menurut Ahmad Tohari, cerpenis pun akhirnya dituntut untuk menggunakan bahasa yang baik, tetapi tetap eksploratif. Menurut dia, sebaiknya cerpenis lokal merawat tulisan cerpen dengan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
”Saya berharap agar cerpenis lokal muda tetap menjaga kaidah berbahasa Indonesia yang baik, namun tetap eksploratif. Sebab, cerpen sebagai karya sastra juga menjadi rujukan bagi pembaca dalam berbahasa. Berbicara soal penggunaan bahasa, apalagi dalam konteks kalimat, kaitannya sangat erat dengan logika berpikir,” tuturnya.