Trisno Karmadji (75) setia membaca surat kabar harian Kompas sejak tahun 1965. Lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu pertama kali membaca harian Kompas saat masih berstatus mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Surabaya, Jawa Timur, atau ketika masih berusia 21 tahun.
Perjumpaan Trisno dengan harian Kompas bukan di universitas. Dia pertama membaca harian Kompas justru di tempat dia tinggal, yaitu indekos yang tak jauh dari Universitas Surabaya. Walaupun pemilik kos bukan dari kalangan pejabat atau akademisi, namun pemilik kos itu berlangganan harian Kompas setiap hari.
"Biasanya kalau pemilik kos selesai baca koran itu kan, disimpan. Di situ kami anak kos ikut nebeng membaca," kata Trisno, saat ditemui di kediamannya di Sunter Agung, Jakarta Utara, pada Senin (24/6/2019) pagi.
Dia tertarik membaca harian Kompas lantaran sejak kecil selalu diajarkan orangtua untuk membaca. Hal itu pula yang mendorongnya untuk membaca tulisan berbentuk apapun termasuk koran. Akan tetapi karena tulisan yang dihasilkan Kompas dinilai obyektif, berimbang, dan terus berkembang, maka dia selalu berusaha membaca Kompas setiap saat dan di manapun dia berada.
Pada tahun 1971, ketika lulus dari universitas dan bekerja, Trisno ditempatkan di sebuah desa terpencil di Pacitan, Jawa Timur. Di wilayah itu, koran Kompas sama sekali tak dijumpai. Agar tetap ditemani harian Kompas, Trisno memilih berlangganan melalui paket pos. Hal itu rutin dia lakukan dari tahun 1971-1977 atau selama bertugas di desa itu.
"Akhirnya saya langganan pakai paket pos. Satu minggu baru korannya tiba, dan itu menyebalkan karena saya tidak bisa baca setiap hari," katanya.
Kesetiaannya membaca Kompas tetap berlanjut saat dia bertugas di Jakarta, di Rumah Sakit Carolus, Jakarta Pusat, pada tahun 1977. Ada sebuah kesan mendalam dan menyentuh yang tak bisa dilupakan Trisno hingga kini. Pada waktu itu, Kompas sempat dibredel pada zaman Pemerintahan Orde Baru, tahun 1978.
Saat Kompas kembali diizinkan terbit, pada 6 Februari 1978, sebagai pembaca setia, Trisno pun kian penasaran untuk membaca isi dari tulisan harian Kompas edisi hari itu. Meski dia telah lupa dengan judul atau rubrik dari tulisan itu, tetapi ada sebuah kutipan yang masih dia ingat hingga kini.
"Saya masih ingat kalimat yang sangat menyentuh. Bunyi kalimatnya begini, kita mesti hidup dulu sebelum berfilsafat," kata Trisno.
Kutipan itu dimuat dalam Tajuk Rencana yang ditulis salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama. Pada tulisan itu, di salah satu paragrafnya, Jakob mengatakan, Dengan gagah berani dan benar, orang bisa bilang hidup tidak hanya dari roti. Namun, ada juga ungkapan yang sama benarnya: orang perlu hidup lebih dulu untuk bisa berfilsafat.
Tetap ada
Trisno berharap harian Kompas versi cetak tetap ada sampai kapanpun. Media cetak merupakan dasar atau sejarah penting keberadaan Kompas yang patut dijaga sebagai warisan. Tak hanya itu, Trisno juga berupaya menjaga harian Kompas dengan memperkenalkan kepada anak-anaknya di rumah.
"Kalau perkenalan (Kompas) ke teman-teman, saya kira tidak perlu karena teman-teman sudah punya. Di mana-mana kalau ketemu teman-teman, ada yang didiskusikan, pasti karena bacanya di Kompas," katanya.
Dia berharap idealisme yang dipegang Kompas tetap dijaga hingga kapanpun. Dia ingin pemberitaan Kompas tetap obyektif dan berimbang tanpa memihak pihak manapun. "Kalau toh, subyektif, ya, subyektif yang membela kebenaran," ucap Trisno.
Menurut dia, kesalahan kecil dalam penulisan, seperti tanda baca, ejaan, atau kurang huruf harus lebih diperhatikan dan diminimalisir. Trisno tak ingin Kompas salah dalam menyajikan berita.
"Kalau untuk pelanggan lama, kalau bisa ada kejutan sedikit. Saya ingin diajak lihat dapur Kompas dan bisa cerita atau mengborol bersama," katanya.