Setelah menggelar sidang dan rapat permusyawaratan hakim secara maraton, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan sengketa pemilihan presiden yang diajukan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Kamis (27/6/2019). Kewenangan MK untuk menangani sengketa pemilu itu diberikan langsung oleh konstitusi, tepatnya Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945.
Secara tegas, pasal itu menyebutkan, MK berwenang mengadili sengketa pemilu pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final. Final artinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Tidak ada upaya hukum lain terhadap keberatan atas putusan. Selain final, putusan MK juga bersifat mengikat. Artinya, putusan itu tak hanya berlaku bagi para pihak beperkara, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan, putusan MK bersifat final karena terkait sengketa ketatanegaraan. Jadi, tak boleh berlarut-larut dan berkepanjangan. Setelah putusan dibacakan, agenda KPU berikutnya adalah penetapan presiden dan wakil presiden terpilih. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur, penetapan calon terpilih dilakukan tiga hari pasca-putusan MK.
Terkait persoalan pemilu, MK bukan satu-satunya lembaga yang menangani keberatan terkait pemilu. Mengacu UU Pemilu, MK menangani sengketa hasil. Sementara terkait proses pemilu, ditangani oleh Badan Pengawas Pemilu serta Pengadilan Tata Usaha Negara. Pidana pemilu ditangani penegak hukum.
Kewenangan bagi Bawaslu, PTUN, dan MK dalam menyelesaikan sengketa proses dan hasil pemilu merupakan bagian dari desain serta implementasi sistem keadilan pemilu yang komprehensif dan efektif. Keberatan yang muncul, yakni saat pra-pemilu, pemilu, dan pasca-pemilu, pun jadi dapat tertangani sehingga terwujud suatu keadilan pemilu. (REK/ANA)