Pelet ada banyak artinya, baik makanan ikan, hingga ilmu hitam. Namun, bagi masyarakat Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali, pelet merupakan solusi mengolah sampah. Pelet jadi mempesona dengan segudang manfaatnya bagi alam dan penghematan energi.
Bentuk pelet serupa silinder kecil berwarna gelap. Panjangnya hanya sekitar dua sentimeter. Bila dikeringkan, warnanya akan berubah menjadi coklat. Bentuknya mirip sumbat botol dari gabus, hanya saja lebih pendek.
Pelet dibuat dari sampah organik dan anorganik. Sampah yang terkumpul akan difermentasi dengan bio aktivator selama 5-6 hari. Masyarakat setempat menyebut proses ini peuyeumisasi.
Ni Nengah Mariani (32), bendahara Tempat Olah Sampah Sementara (TOSS) Werdhi Guna di Desa Gunaksa, mengatakan, sampah difermentasi dengan aktivator bernama toya wiguna. Dalam bahasa Bali, toya wiguna berarti air yang berguna.
"Toya wiguna dibuat dari buah-buahan busuk selama satu hari. Cara membuatnya masih kami rahasiakan. Sebab, toya wiguna hanya ada di sini (TOSS Werdhi Guna). Sesekali kami jual bio aktivator ini ke desa lain," kata Nengah di Gunaksa, Kamis (27/6/2019).
Ia mengatakan, TOSS Werdhi Guna menerima tiga ton sampah setiap hari, baik organik, maupun anorganik. Sampah tersebut dikumpulkan dari seluruh Desa Gunaksa oleh penduduk setempat. Di hari raya, jumlah sampah yang diperoleh bisa mencapai enam ton.
Sampah yang ada kemudian dimasukkan ke dalam boks bambu tanpa dipilah. Kemudian, sampah disiram dengan satu liter toya wiguna. Setelah didiamkan selama sekitar 10 menit, sampah disiram dengan 40 liter air bersih.
Sampah basah kemudian didiamkan selama 5-6 hari untuk fermentasi. Boks bambu berisi sampah harus diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari dan hujan. Sirkulasi udara yang baik juga harus diperhatikan agar fermentasinya maksimal.
Usai fermentasi, sampah akan berkurang volumenya hingga 50 persen. Sampah anorganik, seperti plastik, biasanya akan naik ke permukaan dengan sendirinya. Saat itulah para petugas TOSS Werdhi Guna yang berjumlah 13 orang akan memilah sampah.
Tahap selanjutnya
Sampah yang telah selesai difermentasi akan dicacah dengan mesin. Cacahan sampah kemudian dibentuk menjadi pelet dengan bantuan mesin. TOSS Werdhi Guna dapat menghasilkan sekitar 300 kilogram pelet setiap hari.
"Jumlah produksi pelet kami tergantung kinerja mesin. Hingga kini kami punya dua mesin untuk membuat pelet. Tapi, satu mesin sedang bermasalah," kata Nengah.
Pelet yang sudah jadi harus dijemur terlebih dahulu di bawah sinar matahari. Dengan kondisi terik, pelet bisa kering dalam waktu sehari.
TOSS Werdhi Guna biasanya mendistribusikan pelet produksinya ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jeranjang, Lombok. Dalam satu periode, ada 1,5 ton pelet yang dikirim. "Kalau pelet sudah banyak, kami pasti mengabari PLTU Jeranjang," kata Nengah.
Hemat energi
Pelet digunakan sebagai bahan bakar campuran di PLTU Jeranjang. Dengan begitu, penggunaan batubara bisa lebih hemat dengan persentase 99 persen batubara dan satu persen pelet dalam sekali pembakaran.
Menurut data PT Indonesia Power UNit Pembangkitan Bali, konsumsi batubara pada sebuah PLTU mencapai 67.680 ton per tahun. Dengan pelet sebagai bahan bakar campuran, konsumsi batubara menurun menjadi 66.960 ton per tahun.
Selain untuk bahan bakar campuran, pelet juga bisa digunakan sebagai substitusi kayu bakar di sektor rumah tangga dan usaha kecil. Harganya pun murah, yakni Rp 300 per kilogram. Sementara itu, harga rata-rata satu ikat kayu bakar ialah Rp 15.000.
"Sekarang kami fokus untuk penyelesaian masalah sampah dulu. Kami juga masih dalam tahap riset (terkait inovasi penghematan energi). Hal ini harus melibatkan banyak pihak, baik masyarakat, pemerintah daerah, hingga pihak yang membuat mesin," kata Vice President Public Relation PT PLN Dwi Suryo Abdullah di Gunaksa.
Selain menghemat energi, pelet juga membantu masyarakat Gunaksa untuk mengolah sampah. Sebelum ada TOSS Werdhi Guna, masyakarat kerap membuang sampah ke sungai di desa. Akibatnya, Desa Gunaksa diterjang banjir bandang pada 2010.
"Harta benda warga desa banyak yang hanyut karena banjir. Kami pun mulai berpikir untuk mengolah sampah dengan baik. Walaupun begitu, memang masih ada yang membuang sampah ke sungai," kata Nengah.