Jaringan perdagangan orang bergerak hingga ke desa-desa di Kalimantan Barat, dengan sasaran para perempuan muda yang diiming-imingi, kawin kontrak dan tinggal di China.
JAKARTA, KOMPAS — Tindak pidana perdagangan orang dengan modus kawin kontrak atau pengantin yang dikirim ke China masih mengancam perempuan-perempuan di Tanah Air. Kendati sudah ada sejumlah perempuan yang menjadi korban, hingga kini sejumlah perempuan asal Kalimantan Barat masih menerima tawaran untuk diberangkatkan ke China, setelah menerima uang dari orang yang menghubungi dan mengatur pemberangkatan mereka.
“Modus tindak pidana perdagangan orang semakin canggih, dan sulit diputus mata rantainya, karena ada transaksi yang menguntungkan, karena ada penawaran dan permintaan. Upaya pencegahan harus dilakukan semua pihak,” ujar Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Vennetia R Danes, Kamis (27/6/2019), di Jakarta.
Minggu (23/6/2019) petang, Mo yang diduga pelaku yang akan membawa dua perempuan, Di (25 dan Yi (22), dari Pontianak ke China ditahan Kepolisian Resor Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta saat tiba di Bandar Udara Soekarno Hatta. Mo ditahan menyusul laporan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tentang dugaan tindak pidana perdagangan orang dengan modus kawin kontrak atau pengantin yang dikirim ke China.
Dari informasi Mahadir, Ketua Dewan Pengurus Cabang SBMI Mempawah, Kalbar, Di, Yi, bersama Mo ditahan Polres Bandar Udara Soekarno Hatta, saat transit di Jakarta untuk mengurus visa ke China. Rencananya setelah visa selesai mereka akan melanjutkan perjalanan ke China.
“Kalau mereka sudah sampai di China, tidak mudah untuk membawa pulang. Karena itu, harus dicegah jangan sampai keluar. Pengawasan yang ketat di pintu keluar negeri, perbatasan, bandar-bandar udara sangat penting,” ujar Vennetia yang mengimbau kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan dari jaringan TPPO.
Pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan (GTPP) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), karena itu semua pihak diharapkan terlibat dalam pencegahan TPPO). “Tindak pidana perdagangan orang adalah masalah transnasional. Jaringan sindikat mendapat keuntungan besar. Perempuan dari Kalbar yang dikirim ke China mereka bukan dipekerjakan bahkan diperbudak. Banyak yang sampai melarikan diri dan meminta perlindungan ke Kedutaan Besar RI,” kata Vennetia.
Menurut Mahadir, jaringan perdagangan orang sudah bergerak sampai ke desa-desa. Sejumlah perempuan muda dari berbagai daerah di Kalbar menjadi target dari jaringan perdagangan orang, melalui modus pengantin yang dikirim ke China. Mereka diiming-iming akan mendapat uang dan menjalani hidup bahagia jika mau kawin kontrak dan tinggal di China.
Perekrutan dan pengiriman perempuan-perempuan dilakukan oleh jaringan yang beroperasi di Kalbar, yang berkoordinasi dengan jaringan di Jakarta yang mengurus visa dan pemberangkatan ke China. Informasi tentang Di dan Yi diperoleh SBMI dari masyarakat. Di dan Yi adalah dua dari empat korban yang rencananya akan diberangkatkan ke China.
Destri Handayani, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO menyatakan berdasarkan pengalaman dari kasus-kasus TPPO dengan modus yang sama (pengantin pesanan) yang terjadi selama ini, kasus ini patut dicurigai atau berindikasi TPPO walaupun eksploitasinya belum terjadi.
“Aparat perlu mendalami dan mengawasi pelaku yang membawa korban dari Pontianak ke Jakarta agar diketahui apakah yang bersangkutan bagian dari sindikat atau tidak. Jangan-jangan kasus ini bukan yang pertama dilakukannya. Seandainya ya, kita berharap sindikat tersebut dapat dibongkar,” kata Destri.
Dihubungi Kamis malam, Kepala Sub Bagian Humas Polres Bandara Soetta, Inspektur Dua Riyanto menyatakan kasus tersebut masih dalam pengembangan oleh kepolisian.
Merasa dibohongi
Adapun kedua korban Di dan Yi saat ini saat ini didampingi Parinama Astha dan SBMI. Kedua korban mengaku ingin ke China karena dijanjikan kehidupan yang lebih baik. Sebelum berangkat ke China, keduanya telah bertemu dengan calon suami, melakukan pertunangan,dan menerima sejumlah uang dari orang yang menjadi perantara.
“Saya mendapat uang Rp 19 juta, katanya uang mahar. Saya sudah bertemu dengan calon suami saya satu kali waktu datang ke Pontianak. Nanti sampai di China saya akan menikah,” ujar Di.
Namun, Yi mengaku baru diberikan uang Rp 5 juta. Dia dijanjikan akan mendapat uang lagi jika visa sudah selesai. “Saya mau dijodohkan karena mereka bilang setelah tiga bulan saya bisa pulang ke Indonesia dan membawa uang,” kata Yi.
Kedua korban mengaku menyesal tergiur dengan tawaran dan janji manis dari orang-orang yang menghubungi mereka.
Untuk keselamatan Di dan Yi, bersama pendamping hukum dari Parinama Astha, Ermelina Singereta, Kamis siang keduanya meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Komisioner Komnas Perempuan Thaufiek Zulbahary menyatakan isu TPPO cenderung luput dari perhatian. Padahal praktik dan potensi risikonya di depan mata. Karena itu koordinasi yang baik perlu terus diperkuat untuk mencegah terjadinya kasus-kasus seperti itu, terutama dengan pihak imigrasi, kantor urusan agama (penyelenggara perkawinan), juga pemerintah desa hingga RT/RW.
“Kami mendorong pihak kepolisian untuk lebih serius dan responsif dan cermat dalam penegakan hukum kasus TPPO ini,” katanya.