JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menjalin kerja sama dengan negara-negara yang berpotensi menjadi tujuan ekspor. Dengan cara itu, produk-produk ekspor dari Indonesia tidak kalah bersaing dengan produk negara lain yang sudah menjalin kerja sama bilateral.
Selain itu, pemerintah dan pelaku usaha juga perlu memperkuat struktur industri yang terintegrasi. Dengan cara itu, impor bahan baku dapat dikurangi melalui substitusi impor.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy menyampaikan hal itu di Jakarta, Kamis (27/6/2019). ”Salah satu upaya untuk meningkatkan ekspor adalah menjalin kerja sama bilateral,” kata Ernovian.
Peningkatan ekspor ke Amerika Serikat tersebut dilakukan untuk mengisi pasar yang ditinggalkan China sebagai dampak perang dagang dua negara tersebut.
Pemerintah sedang mengkaji dan mengidentifikasi produk Indonesia yang berpotensi menembus pasar AS. Kementerian Perdagangan juga mempelajari selera konsumen AS agar bisa menggenjot ekspor (Kompas, 27/6).
Menurut Ernovian, kerja sama dan negosiasi perdagangan secara bilateral penting untuk meningkatkan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) ke negara tujuan ekspor. Ia mencontohkan, ekspor TPT Vietnam lebih besar karena Vietnam menjalin kerja sama perdagangan bilateral dengan AS.
Ernovian menambahkan, ekspor TPT Indonesia ke AS lebih dominan berupa produk pakaian jadi. Namun, industri pakaian jadi secara nasional di Indonesia belum didukung industri produk kain jadi.
Berdasarkan data API, ekspor TPT pada 2018 senilai 13,21 miliar dollar AS, sedangkan impor senilai 10,01 miliar dollar AS. Pada 2017, ekspor TPT 12,54 miliar dollar AS, sedangkan impor 8,80 miliar dollar AS.
Agresif
Wakil Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Budiarto Tjandra menuturkan, pemerintah perlu memiliki langkah agresif dan taktis untuk menarik investor ke Indonesia di tengah kondisi perang dagang AS-China.
Budiarto menilai, ada investor industri persepatuan dari China yang mengincar Bangladesh dan Laos sebagai pilihan investasi. Alasannya antara lain insentif bagi investor agar kegiatan ekonomi dapat tumbuh.
Di sisi lain, upaya meningkatkan ekspor sejumlah produk ke AS terbentur kondisi industri. Dalam industri mebel, misalnya, sekitar 80 persen dari usaha mebel dilakukan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Kondisi ini menyulitkan Indonesia untuk meningkatkan ekspor mebel ke AS secara signifikan, khususnya dalam mengisi pasar mebel China yang diekspor ke AS.
Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur menyarankan agar Indonesia menarik investasi berskala besar. Dengan cara itu, industri mebel optimal menggarap pasar AS.
”Strategi ini sudah dijalankan Vietnam sehingga nilai ekspor mebel dari Vietnam tahun lalu mencapai 9,3 miliar dollar AS, yang 70 persennya masuk ke pasar AS,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakri menuturkan, ada peluang bagi industri skala menengah di Indonesia untuk menggarap segmen pasar ekspor alas kaki bukan merek utama. (FER/CAS)