Privatisasi Pulau-pulau Kecil Ancam Kesejahteraan Nelayan
Sejumlah pulau kecil di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, diduga menjadi milik perorangan sehingga jadi kawasan privat. Privatisasi pulau merampas ruang gerak masyarakat nelayan di sekitarnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pulau kecil di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, diduga menjadi milik perorangan sehingga menjadi kawasan privat. Privatisasi pulau merampas ruang gerak masyarakat nelayan di sekitarnya. Pemerintah perlu membenahi tata kelola atau zonasi pesisir sehingga nelayan tak dirugikan.
Berdasarkan catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) pada awal 2019, di Kepulauan Seribu terdapat seluruhnya 110 pulau kecil. Namun, 86 pulau telah dimiliki secara perorangan.
Sejumlah nama disebut dalam catatan itu, antara lain putra ketiga Presiden Soeharto, yakni Bambang Trihatmodjo, yang menguasai Pulau Bira Kecil, Aburizal Bakrie (Pulau Puteri Gundul), pengusaha Anthony Salim (Pulau Opak), pengusaha Surya Paloh (Pulau Kaliage), dan pengusaha Tomy Winata (Pulau Sebaru Kecil, Pulau Macan, Pulau Peteloran Timur, dan Pulau Burung).
Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati mengatakan, nama-nama itu ditelusuri dari data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pengetahuan masyarakat sekitar. Privatisasi pulau-pulau tersebut, lanjutnya, rata-rata sudah berlangsung sejak zaman Orde Baru.
”Jadi, para pemilik HGU (hak guna usaha) ini sudah cukup lama. Artinya, HGU di beberapa pulau itu diterbitkan dari zaman Orde Baru,” ujar Susan dalam diskusi publik ”Privatisasi Pulau-pulau Kecil di Kepulauan Seribu DKI Jakarta”, di Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2019).
Susan menjelaskan, privatisasi pulau tidak diperkenankan apabila melebihi aturan yang ada di Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016.
Dalam aturan itu, penguasaan atas pulau-pulau kecil maksimal sebesar 70 persen dari luas pulau atau sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi tersebut.
Sementara itu, sisa paling sedikit 30 persen dari luas pulau kecil tersebut harus dikuasai langsung oleh negara dan digunakan untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat.
Namun, Susan menyebutkan, di Pulau Pari, salah satu perusahaan telah melanggar aturan tersebut. Di pulau seluas 41,32 hektar tersebut, sertifikat tanah milik perusahaan keluar dengan luas tanah mencapai 90 persen dari luas tanah yang ada.
”Itu saja sudah melanggar aturan yang ada, dan itu baru satu pulau. Ada indikasi mala-administrasi peruntukan pulau juga di pulau-pulau kecil lain,” ucap Susan.
Ketimpangan ekonomi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menuturkan, privatisasi pulau berdampak serius bagi masa depan 3.375 nelayan di Kepulauan Seribu. Sebab, nelayan, yang mayoritas menggunakan kapal berukuran 0-5 gros ton harus semakin jauh mencari ikan dan terbatas zona penangkapannya.
”Pulau-pulau privat itu dijaga ketat dan bukan oleh orang lokal. Kalau ada perahu nelayan bersandar, mereka (nelayan) diusir dan disuruh menjauh,” ujar Tubagus.
Menurut Tubagus, pelaku yang telah mengusir nelayan itu telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Dalam putusan tersebut, tertulis bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut. Mereka berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan.
Sulaiman (38), nelayan dari Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, membenarkan bahwa kini dirinya harus mengeluarkan uang lebih besar untuk membeli bensin karena jangkauan tangkapan lebih jauh.
”Sebelum (pulau-pulau) dikuasai, kami hanya butuh 1 liter bensin per hari. Sekarang, kami butuh bensin 2 liter karena jarak lebih jauh untuk bisa menangkap ikan. Itu karena kami harus memutar dan menjauh dari pulau,” kata Sulaiman.
Ironisnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017, Kepulauan Seribu merupakan kabupaten/kota termiskin di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kepulauan Seribu memiliki persentase penduduk miskin sebesar 12,98 persen, Kota Jakarta Utara (5,59 persen), Tangerang (5,39 persen), Bekasi (4,73 persen), Kota Jakarta Pusat (3,78 persen), Provinsi DKI Jakarta (3,77 persen), Kota Jakarta Barat (3,45 persen), Kota Jakarta Timur (3,31 persen), Kota Jakarta Selatan (3,14 persen), Kota Depok (2,34 persen), dan Kota Tangerang Selatan (1,76 persen).
Sulaiman juga menyayangkan sikap pemerintah yang tak memihak kepada kesejahteraan nelayan, secara khusus di Pulau Pari. Hal itu, lanjutnya, terlihat dari Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang hampir 90 persen wilayah Pulau Pari disebut zonasi permukiman non-nelayan.
”Tak ada permukiman untuk nelayan. Karena memang di RZWP3K itu dijelaskan dari awal, permukiman nelayan itu kumuh. Dan permukiman kumuh itu tak akan bisa masuk ke KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional). Pulau Seribu, kan, masuk KSPN. Jadi, salah satu caranya, menghilangkan permukiman nelayan itu,” tutur Sulaiman.
Benahi tata ruang
Dalam kesempatan itu, Susan berharap, pemerintah dapat membenahi tata kelola atau zonasi pesisir sehingga tak merugikan kehidupan nelayan. Itu harus dilakukan sebelum Raperda RZWP3K disahkan.
”Ruang yang ada sekarang tidak netral, banyak kepentingan. Ini membentuk eksklusivisme di antara penderitaan para nelayan tradisional kita. Perlu reorganisasi ruang agar kita tidak hanya mementingkan penetrasi modal, tetapi juga kepentingan nelayan,” ujar Susan.