Bangkitnya Seni Topeng Malang
Upaya pelestarian seni topeng Malang menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Animo masyarakat mempelajari seni topeng kian tinggi terutama di kalangan anak muda.
Pendopo Pedepokan Wayang Topeng Malangan Asmoro Bangun di Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (23/6/2019) pagi, ramai oleh puluhan anak. Siswa pedepokan tengah berkolaborasi menari dengan siswa Kampung Budaya Polowijen Kota Malang.
Diiringi bunyi gamelan dari tape recorder, gerakan mereka serempak meski baru pertama menari bersama. Di pinggir pendopo, belasan anak yang umurnya jauh lebih muda (TK sampai kelas 1-2 SD) memperhatikan dengan saksama tarian mereka. Dengan selendang di leher, mereka mencoba mengikuti beberapa gerakan.
”Senang bisa berkolaborasi,” ujar Ikbar Gilish Bramasta (15), siswa kelas 1 SMKN 1 Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta. Warga Polowijen, Kecamatan Blimbing, itu sedang pulang kampung. Dia memanfaatkan libur sekolah dengan berlatih menari topeng bersama teman-temannya.
Ikbar menyatakan belajar tari topeng sejak lima tahun lalu. Sebagai cowok milenial, dia tidak malu belajar menari. Alasan Ikbar ingin mengembangkan budaya bangsa. Polowijen dikenal sebagai titik awal mula wayang topeng Malangan muncul dan berkembang.
Pemangku Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi, mengatakan, yang dilakukan merupakan kegiatan sonjo deso (silaturahmi) ke kantong seni wayang topeng Malang. Ia bersama 30-an siswa beranjangsana dari satu pedepokan ke pedepokan lain di Malang.
Pekan lalu, mereka antara lain berkunjung ke Kemantren dan Jabung (Kecamatan Jabung) serta Desa Tulus Besar dan Glagahdowo (Tumpang). Setelah dari Pedepokan Asmoro Bangun, sonjo deso dilanjutkan ke Permanu (Pakisaji), Senggreng dan Jatiguwi (Sumberpucung), serta Jambuwer dan Gunung Kawi (Wonosari).
”Kami bermaksud bertemu tokoh wayang topeng yang masih berkesenian. Kami perlu memperkenalkan ke anak didik kami, para tokoh wayang topeng di Malang,” ujar Isa yang biasa dipanggil Ki Demang.
Menurut Isa, seni topeng Malang di Polowijen mulai hidup lagi dalam tiga tahun terakhir setelah lebih dari setengah abad vakum. Topeng Malang dikembangkan Ki Tjondro Suwono atau Mbah Reni tahun 1880-an hingga 1930-an. Oleh Adipati Malang Aryo Diningrat IV, Mbah Reni diminta menyebarluaskan kesenian itu ke daerah lain di Malang.
Setelah Mbah Reni tiada, wayang topeng diteruskan oleh Pak Patawi. Namun, selepas tahun 1950-an, kesenian ini jarang terdengar kabarnya. ”Kini Polowijen menjadi cikal bakal kebangkitan tari topeng Malang. Kami menarikan gagrak Semeru (Malang timur) dan gagrak Kawi (Malang barat),” Isa menguraikan.
Produksi cendera mata
Seperti juga Polowijen, denyut berkesenian di Asmoro Bangun juga menggeliat. Tidak hanya pementasan yang kian sering dilakukan, mereka juga memproduksi cendera mata bernuansa topeng Malang, khususnya topeng Panji.
Pimpinan Pedepokan Asmoro Bangun Tri Handoyo tak ingat berapa banyak pesanan cendera mata topeng yang dikerjakan dalam setahun. Saat ini, pihaknya tengah merampungkan 350 gantungan kunci pesanan salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Benda itu akan digunakan sebagai suvenir seminar Panji di kampus tersebut.
”Kami juga tengah menyiapkan 100 vandel berupa topeng pesanan Pemerintah Kota Malang,” katanya. Kunjungan tamu ke Pedepokan Asmoro Bangun juga kian sering. Selama Mei, sedikitnya tiga kelompok pelajar di Malang datang. Bulan Maret-April, lima rombongan wisatawan asing, antara lain dari Jerman, Belanda, Jepang, dan Thailand, datang. Hari Minggu itu, Handoyo juga menyambut kunjungan awak salah satu televisi swasta nasional dari Jakarta yang tengah shooting suatu acara.
Handoyo, cucu maestro tari topeng Malang Mbah Karimun, merasakan kondisi saat ini berbeda dengan satu-dua dasawarsa lalu. Saat itu, sulit menarik minat masyarakat mengenal dan menyukai kesenian tersebut. Setiap kali mengajar tari pada 10-20 murid, hanya bertahan 1-2 anak.
Kini, Handoyo memiliki 170 murid yang aktif. Setiap minggu pendopo pedepokan ramai oleh kegiatan belajar tari, mulai dari yang masih duduk di TK sampai sekolah menengah. Kedua anak Handoyo ikut serta, bahkan ada yang bercita-cita meneruskan kuliah tari di Surabaya.
Pengaruh teknologi
Menurut Handoyo, ada beberapa penyebab seni ini kembali berkembang. Selain pengaruh teknologi yang menyebarkan secara cepat suatu topik, juga akibat kreativitas dalam pelestarian meningkat.”Ayah saya hanya membuat topeng untuk tari. Jadi, penikmatnya terbatas. Saya membuat dalam bentuk lain sehingga banyak peminat,” katanya.
Kini, topeng dibuat berbentuk gantungan kunci dan benda dengan kegunaan lain. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Malang Made Arya Wedanthara mengatakan, pihaknya berusaha melestarikan budaya. Apalagi, Malang sudah diakui sebagai salah satu pusat tari topeng di Nusantara.
Disparbud Kabupaten Malang berupaya memperkenalkan tari topeng ke banyak daerah dan luar negeri. Arya menuturkan, pada 2015 pernah membawa rombongan tari topeng ke Rusia. Pada 2016, diselenggarakan tari topeng massal melibatkan 5.000 siswa di Pantai Ngantep, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Acara itu mencatatkan rekor dunia tari topeng terbanyak.