JAKARTA, KOMPAS – Pelaksanaan Penerimaaan Peserta Didik Baru atau PPDB berbasis zonasi dinilai membutuhkan sinergi antarlembaga. Sinergi tersebut dibutuhkan dalam pelaksanaan PPBDB ke depan, terutama untuk memperkuat proses pengawasan.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Rahmat Hidayat menilai, penerapan sistem zonasi dalam PPDB ke depan membutuhkan sinergi dengan pemangku kepentingan terkait. Salah satunya adalah sinergi dengan Kementarian Dalam Negeri dalam pembaruan basis data kependudukan.
“Sebab banyak kasus berkaitan dengan manipulasi data Kartu Keluarga (KK) sehingga dalam satu KK ada banyak sekali anggotanya,” ujarnya dalam Bincang Pendidikan “Menguji Relevansi Kebijakan Zonasi Sekolah” oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta, Jumat (28/6/2019).
Rahmat menyontohkan sejumlah kasus manipulasi KK yang terjadi di SMAN 3 dan SMAN 5 Kota Bandung, Jawa Barat. Menurutnya, dibutuhkan pengawasan yang optimal guna mencegah terjadinya hal serupa pada PPDB ke depan.
Sosialisasi yang tidak maksimal, menurut Rahmat juga menjadi catatan penting dalam pelaksanaan PPDB berbasis zonasi. Sosialisasi yang dimaksud adalah yang diberikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/kota.
“Ada sejumlah daerah yang sempat mengalami masalah seperti di Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Setiap daerah berbeda-beda kondisinya,” ujarnya.
Ia juga mengidentifikasi beberapa masalah lain di daerah seperti tidak meratanya daya tampung di masing-masing sekolah atau masalah psikologis yang dialami siswa. “Ada siswa yang membakar semua sertifikat lombanya karena tidak diterima di sekolah yang diinginkan. Bahkan ada yang mengancam bunuh diri karena gagal masuk SMA Negeri,” tambahnya.
Tak persis sama
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan Taryono menjelaskan, kebijakan PPDB di Tangerang Selatan tidak persis dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018. Pelaksanaannya disesuaikan dengan tidak meratanya distribusi sekolah.
“Di Kecamatan Pamulang ada lima SMPN, sedangkan di Ciputat hanya ada satu SMPN. Jadi tidak mungkin kami menetapkan sistem zonasi berbasis kecamatan,” katanya.
Setelah memetakan jumlah penduduk, jumlah sekolah dan daya tampung sekolah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan kemudian melakukan terobosan. Jalur zonasi berbasis jarak diputuskan hanya 30 persen, sisanya dialokasikan untuk zonasi berbasis akademik atau NEM, anak tidak mampu, disabilitas dan anak aparat negara.
Koordinator Perkumpulan Penggerak Pendidikan Interreligius Listia berpendapat, yang terpenting dalam kebijakan pendidikan adalah mengedepankan prinsip-prinsip pendidikan itu sendiri.
Pemerintah daerah harus bisa mengimplementasikan hal tersebut dengan berbagai inovasi-inovasi.
“Dengan zonasi, diharapkan akan terjalin komunikasi antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Jika jarak sekolah jauh, tidak akan optimal,” katanya.