Indonesia bertahan karena deposito nilai kebangsaan yang ditanam pendiri bangsa. Investasi kembali nilai-nilai itu kini mendesak dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS - Salah satu kekuatan yang membuat bangsa Indonesia bertahan hingga saat ini adalah nilai-nilai kebangsaan yang ditanam para pendiri bangsa. Nilai-nilai itu mesti terus ditanamkan dan dikembangkan.
”Kita ini masih bertahan sampai hari ini karena deposito nilai yang ditanam di masa lalu, tetapi tidak ada reinvestasi. Dampaknya, di beberapa titik (daerah) sudah mulai aus,” kata Direktur Sekolah Pancasila Yudi Latif, Jumat (28/6/2019), di sela-sela halalbihalal Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan tema ”Kebangsaan dan Religiusitas”.
Salah satu deposito nilai kebangsaan itu, lanjut Yudi, adalah beragamnya latar belakang pendiri bangsa, yakni anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan perumus teks proklamasi.
Keberagaman itu bukan hanya di dokumen konstitusi, melainkan juga diaktualisasikan pada pengalaman politik di masa awal Republik Indonesia. Hal ini, imbuh Yudi, membuat apa pun keberagaman Indonesia pada saat ini sudah terwakili.
Menurut dia, saat ini upaya untuk menanam kembali deposito nilai itu harus dilakukan sejumlah elemen atau komunitas di masyarakat. Terkait hal itu, Yudi berpendapat bahwa lembaga negara seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mestinya lebih menjalankan fungsi seperti dirigen dengan membentuk pusat-pusat studi di berbagai komunitas masyarakat dan memberi stimulan.
Menurut Yudi, elemen di masyarakat yang harus mulai menanam dan mendepositokan kembali nilai-nilai kebangsaan tersebut, antara lain sekolah, komunitas agama dan adat serta budaya, komunitas kerja dan permukiman, serta komunitas media, ormas, dan organisasi politik.
Untuk komunitas agama, misalnya, Yudi mengatakan, Indonesia berbeda dengan Eropa. Di Eropa, kebangkitan nasionalisme diartikan dengan pudarnya agama di ruang publik. Namun, di Indonesia, kebangkitan agama dan nasionalisme terjadi beriringan. ”Jadi jangan coba-coba memperhadapkan kebangsaan dengan agama di Indoensia,” katanya.
Ia menambahkan, saham kebangsaan di Indonesia justru berasal dari saham agama-agama. Oleh karena itu, negara mesti minta tolong pada komunitas agama untuk membudayakan nilai-nilai Pancasila di dalam komunitasnya.
Direktur LP3ES Fajar Nursahid mengatakan, tema ”Kebangsaan dan Religiusitas” dipilih karena saat ini ada dikotomi cukup kuat di antara dua hal itu. Padahal, dua hal itu telah jadi modal sosial dan potensi bangsa sehingga tidak ada alasan untuk didikotomikan.
Jika antara religiositas dan kebangsaan terus dikotomikan, Fajar khawatir konsep negara bangsa yang diniatkan para pendiri negara bisa hilang. ”Kalaupun berjalan, (konsep negara bangsa akan) keropos karena tidak ditopang dua kaki (kebangsaan dan religiositas) yang equal,” kata Fajar.