Jurnalisme Musik, Masih Perlu?
Judul buku : Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya
Penulis : Idhar Resmadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Desember 2018
Tebal : 198 Halaman
ISBN : 978-602-481-059-7
Apakah musik masih penting untuk diberitakan? Apakah pembaca masih memerlukan informasi tentang profil musisi (artis) dan album baru di kala keintiman lewat dunia virtual telah dibangun dengan begitu dekatnya. Hal itulah yang menjadi alasan kenapa Instagram, Facebook, Twitter, Podcast, atau vlog musisi menjadi ramai untuk diikuti. Untuk apa membaca majalah musik jika para penggemar sudah memiliki ”akses belakang panggung” langsung pada musisi?
Harus diakui, jurnalisme musik mengalami senjakala. Apalagi saat ini kepakaran menuliskan musik tidak begitu dibutuhkan, setiap orang dengan serta-merta dapat menjadi jurnalis di media sosialnya, menuliskan apa pun sesuka hati, baik puja-puji maupun hujatan.
Walaupun demikian, jurnalisme musik tidak dapat direduksi sekadar urusan berita dan tulis-menulis seputar bunyi. Lebih dari itu, jejak sejarah jurnalisme musik di negeri ini turut membentuk wacana, opini, polemik, persoalan, bahkan masalah-masalah baru dalam dunia musik. Idhar Resmadi lewat bukunya, Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya, berhasil memotret semua itu dengan bernas.
Majalah ”Aktuil”
Dari semua media musik, Idhar memberi perhatian secara khusus pada majalah Aktuil yang terbit perdana pada 1967 sebagai pelopor jurnalisme musik di negeri ini. Aktuil dirasa menjadi virus yang menginfeksi selera generasi muda terhadap musik rock pada zamannya. Adapun sebabnya karena sang redaktur, Denny Sabri, tinggal di Eropa dan memiliki akses pada beberapa kelompok musik rock Eropa dan Amerika. Pemberitaan-pemberitaan tentang konser musik rock, semacam Deep Purple dan Led Zeppelin, diliput secara langsung olehnya sehingga terasa segar dan baru.
Hal ini membawa arah jurnalisme di Aktuil yang lebih khusyuk memberitakan apa pun tentang musik rock Barat, seperti profil musisi, karya, mode, dan gaya hidup. Isi pemberitaan seolah berbentuk puja-puji bagi musik rock Barat yang dipandang sebagai episentrum musik kelas atas dan gedongan. Semangat itu menemukan momentumnya karena majalah ini muncul dan berkembang pada masa Orde Baru yang mulai longgar terhadap kebudayaan Barat (baca polemik musik ngak-ngik-ngok pada orde sebelumnya).
Majalah Aktuil diburu oleh anak-anak muda, oplah cetaknya mencapai ratusan ribu lebih. Karena itu pula masalah lain muncul, apabila musik rock dipandang sebagai musik berkelas, di luar itu tak lebih dari musik kampungan atau kelas bawah. Dangdut atau musik Melayu di majalah itu menjadi bulan-bulanan, bahkan babak belur dihajar dengan berbagai umpatan. Uniknya, istilah ”dangdut” sendiri lahir dari polemik itu.
Dangdut adalah sebentuk kata ejekan dari redaktur Aktuil, Billy Silabumi, sebagai musik monoton-membosankan yang hanya terdiri dari dua bunyi: ”dang” dan ”dut”, tidak lebih! Anehnya, kata ejekan dan sindiran itu justru kita gunakan untuk menyebut genre musik tersebut hingga kini.
Gaya jurnalisme musik yang dibawa oleh Aktuil memang berlangsung secara blak-blakan, terbuka, bahkan cenderung keras. Apa yang ditulis tidak harus bisa dipercaya, tetapi harus memukau. Sayangnya, karena konflik internal, Aktuil harus berhenti terbit pada 1981.
Sezaman dengan Aktuil terdapat majalah musik lain, seperti Selecta, Monalisa, Variasi, Top, Junior, Violetta, dan Soneta. Terdapat juga beberapa majalah nonmusik yang memasukkan musik sebagai suplemen pemberitaan, seperti Hai, Gadis, Mode, Vista, Monitor, Citra, dan Bintang.
Setelah itu, pada 2002 muncul majalah musik bernama Trax yang memusatkan arah jurnalismenya pada hiburan (entertainment). Puncaknya, pada Mei 2005, Majalah Rolling Stone Indonesia lahir. Majalah Rolling Stone seolah menjadi panduan menarik dalam melihat dan membaca peta musik industri di Tanah Air.
Sayang, saat Trax berhenti terbit pada 2016, Rolling Stone kemudian menyusulnya di pengujung tahun 2017. Setelah itu, tidak ada lagi majalah musik di negeri ini. Apabila ada, itu pun hanya kerja temporer dari komunitas-komunitas pencinta musik di daerah. Bagaimanapun juga, menjadi jurnalis musik adalah kerja yang tak mudah. Musik itu ibarat udara, bisa kita rasakan, tetapi tak dapat disentuh; bisa kita dengarkan, tetapi terlalu sulit untuk dijelaskan.
Jurnalisme musik
Taufiq Rahman dalam pengantar buku ini memberi pemahaman yang bagus tentang pentingnya jurnalisme musik. Menulis musik memang pada akhirnya menjadi milik segelintir orang. Mereka berbicara dengan bahasa isyarat yang kadang tak dimengerti orang di luar itu. Jurnalis musik adalah para fundamentalis-radikal yang terjun ke dalam lubang gelap supaya pembaca mendapatkan secercah cahaya tentang musik.
Para jurnalis musik adalah penerjemah dari bahasa ”langitan” (bunyi) untuk mudah dimengerti khalayak. Para jurnalis musik kadang mencari arti pada bunyi yang sesungguhnya tak memiliki arti, mencoba memaknai suara yang sebenarnya tak harus memiliki makna. Begitulah jurnalisme musik bekerja.
Ia berada dalam batas liminal, dikotomi tarik-menarik antara imajinasi dan rasionalitas. Ia dengan demikian adalah orang-orang terpilih yang dapat hidup dalam dua dimensi, dunia antah-berantah dan alam nyata. Sebagaimana para pujangga Jawa yang menerjemahkan wahyu keilahian menjadi serat-serat untuk dibaca dan disenandungkan.
Dalam buku ini, Idhar juga membahas tentang jurnalisme sastra yang banyak memberi pengaruh pada gaya penulisan jurnalisme mutakhir. Sayangnya, ia luput memotret bagaimana gaya itu telah lama dibawa oleh majalah Tempo. Bahkan boleh dikata, Tempo adalah pelopor jurnalisme sastra(wi) di Indonesia.
Idhar justru asyik bermain- main pada contoh-contoh kasus di Barat, sementara lupa mengontekstualisasikan pada sebuah peristiwa penting di negeri ini, terutama keterkaitan antara jurnalisme sastrawi dan musik atau musik dan sastra yang dibangun oleh Tempo. Meski demikian, buku ini menjadi satu-satunya referensi komprehensif yang merunut perkembangan jurnalisme musik sehingga sangat layak dibaca dan menjadi acuan, baik untuk masyarakat umum maupun para akademisi.
Di kala penulisan tentang musik sayup-sayup tak lagi bergairah, Idhar hadir memberi sengatan berupa semangat dan ruang pengingatan tentang arti penting jurnalisme musik di negeri ini.
Aris Setiawan Pengajar Kritik dan Jurnalisme Musik di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta