Ketut Santosa Merawat Amanah Berkaca-kaca Nagasepaha
Teknik melukis di lembaran kaca muncul di Desa Nagasepaha, Kabupaten Buleleng, Bali, pada tahun 1927, oleh almarhum Jro Dalang Diah. Kini bertahan dan ia mewariskannya sebagai lukisan kaca Nagasepaha. Ketut Santosa (49), salah satu cucunya, berupaya merawat amanah kaca-kaca itu melalui Sanggar Lukis Kaca Nagasepaha, yang telah melalui empat generasi. Tekad Santosa hanya satu: bertahan sampai kapan pun.
”Teknik boleh tak berubah, tetapi tema-tema lukisannya harus selalu dinamis, berkreasi jika ingin lukis kaca Nagasepaha tak hanya tinggal namanya.” Itulah kalimat Santosa sebagai cambuk semangat untuk mempertahankan warisan teknik lukis dilembaran kaca dari kakeknya.
Bagaimanapun, lukis kaca ini bukan suatu kebetulan akhirnya mampu dikenal dan menghidupkan denyut perekonomian warga Nagasepaha yang jauh dari gemerlap perkotaan.
Santosa belajar dari kakeknya semenjak usia sekolah dasar. Begitu pula keahlian ayahnya serta saudara-saudaranya juga menguasai teknik lukis kaca ini sejak kanak-kanak.
”Kakek, ayah, saya, dan beberapa saudara sempat mengalami memanggul hasil lukisan kaca ini untuk dijual berkeliling desa sampai memanggulnya ke pasar. Rata-rata lukisan kaca itu berukuran 40 sentimeter kali 60 sentimeter. Kami memanggulnya sekitar lima lukisan,” kenang Santosa.
Karya yang paling berkesan dan tak pernah dilepaskan kepada kolektor meski banyak yang mengincarnya adalah lukisan kaca yang dibuatnya ketika masih duduk di sekolah dasar. Lukisan itu sebagai bagian dari hiasan meja sekolah. Ia memberinya judul Sutasoma (1984), berukuran 77 sentimeter x 30 sentimeter.
Lukis kaca wayang Nagasepaha terus berkembang. Harga ketika itu, tahun 1970-an, lukisan kaca dapat dibeli sekitar Rp 3.500 per satu lukisan. Kemudian, uang hasil berjualan mereka pakai untuk membayar biaya sekolah serta kehidupan sehari-hari. Siapa menyangka, lukisan kaca Nagasepaha mencapai Rp 6 juta per karya.
Hampir setiap hari, lukisan kaca-kaca menghidupi keluarga Jro Dalang semasa hidupnya sampai cucunya kini. Hingga pada akhirnya, teknik Jro Dalang dikenal luas dan langka. Apresiasi berkesenian pun berdatangan dari seniman serta kurator. Mulai tahun 1990-an hingga saat ini, banyak siswa, mahasiswa, seniman, kurator, kolektor dari lokalan hingga mancanegara silih berganti berdatangan mempelajari keunikan teknik Jro Dalang Diah di balik selembar kaca.
Betapa kemunculan lukis kaca oleh Jro Dalang Diah membawa perubahan ekonomi dan cara pandang mengenai seni. Santosa adalah salah satu dari keluarga yang tak pernah lelah menjadikan lukisan Nagasepaha tetap dinamis mengikuti zaman. Baginya, kakek Jro Dalang berkarya dengan hati dan pastinya penghargaan publik akan datang meski tidak instan.
Begitu pula keberadaan sanggar yang terus diperjuangkan eksistensinya oleh Santosa dengan dana seadanya dari dirinya, donatur, maupun penjualan lukisan. Yang terpenting, ucapnya, anggota sanggar tetap bisa berkarya dengan ketersediaan bahan meski terbatas dan alat-alatnya hingga warna, terutama pengadaan tinta asal China.
Mengikuti perkembangan
Soal perkembangan, ia memisalkan salah satunya selain mengenai tema, fisik ketebalan kaca yang dipergunakan pun berubah. Perubahan itu berupa kaca dari ketebalan 2 milimeter menjadi 3 milimeter memasuki tahun 2007 sampai sekarang. Bahkan, ia juga melukis gelas, stoples, dan sloki dengan teknik lukis dari dalam gelas.
Pameran demi pameran diikutinya, termasuk penjualan pun diminati wisatawan mancanegara, seperti Australia, Amerika Serikat, Eropa, dan Taiwan. Hanya saja, ia tidak ingin terjebak dalam putaran warna pewayangan klasik semata. Ia harus bergerak mengikuti tren tematik yang tengah berkembang.
”Bukan karena ingin ikut-ikutan, melainkan memandang secara realistis saja. Pertimbangannya, tema yang dinamis dimungkinkan untuk mendapatkan respons lebih baik ketimbang menawarkan yang itu-itu saja (tema pewayangan). Tetapi, percayalah, lukis Nagasepaha tetap berpijak pada teknik warisan Jro Dalang dan unsur pewayangan tetap diupayakan melekat pada seluruh lukisan sebagai khasnya yang melukis secara terbalik dari sisi kaca dalamnya,” tutur Santosa sambil memperlihatkan lukisan kaca berjudul ”Piala AFF” karya saudaranya Ketut Samudrawan.
Karya saudaranya, mengenai Piala AFF ini bagian dari dirinya mengajak saudara serta anggota sanggar Nagasepaha untuk bereksplorasi lebih luas. Tema politik, lanjutnya, menjadi ladang perhatian publik. Hanya saja, pembuatannya memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi. Mengapa?
Santosa menjelaskan jika melukis tema pewayangan, dirinya tak perlu mengawali dengan sketsa pun lancar. Karena semua garis dan pewarnaan pewayangan sudah melekat di luar kepala. Nah, proses melukis dan mewarnai tematik yang tetap berpijak pada pewayangan dengan polesan tema kekinian itu lebih sulit.
”Imajinasi menjadi bermain untuk lebih muncul dan menarik sesuai temanya. Pewayangan tetap menjadi pakemnya, hanya saja penokohannya bisa disesuaikan dengan tematiknya. Ya, jadi sulit dan membutuhkan waktu,” jelasnya sambil menunjuk lukisan lainnya dengan tematik.
Kehidupan terus berjalan. Apa yang diwariskan sebisa mungkin tetap abadi. Begitu pula Santosa menjaga amanah kakeknya untuk tetap menjaga kaca-kaca Nagasepaha eksis sebagai ladang yang tak lekang oleh zaman. Ilmu pun terbuka untuk ditularkan kepada siapa pun yang hendak belajar.
”Kami terbuka, kami bersyukur, keberadaan lukis kaca Nagasepaha masih mendapat penghargaan dari siapa pun mereka penikmat, pencinta atau yang ingin belajar. Kami berterima kasih…,” kata Santosa saat ditemui berpameran selama sebulan di pameran Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 di Taman Budaya Denpasar.
I Ketut Santosa
Istri: Ni Nyoman Ari Suteni
Anak:
1. Luh Widari
2. Made Wijana
TTL: Nagasepaha, 21 Juli 1970
Pendidikan:
1. SD 1 Negeri Nagasepaha
2. SMP Dwijendra, Singaraja
3. SMA Paket C
Pengalaman Pameran, antara lain:
1. Tahun 1999: Pameran lukisan kaca di Hotel Baruna, Lovina, Singaraja
2. Tahun 2000: The Glass Painting of Nagasepaha, Puri Lukisan, Ubud
3. Tahun 2001: Pameran lukisan kaca di ITB, Bandung
4. Tahun 2003 dan 2004: Pameran di Bentara Budaya Jakarta
5. Tahun 2005: Gallery Nasional Jakarta
6. Tahun 2008: Jogja Gallery
7. Tahun 2014: Penjinak Kaca di Rumah Budaya Sewon, Jogja
8. Tahun 2014: Museum Sonobudoyo, Yogyakarta
9. Tahun 2017: Bentara Budaya Bali.
Penghargaan: antara lain: penghargaan dari IKJ Jakarta, Malaysia, ITB, Taman Budaya Denpasar