Sapi-sapi Karapan
Kompas/Cahyo Heryunanto
Jika bukan kamu yang meneruskan ini lantas siapa lagi? Kata-kata itu terbang melintasi pikiranku. Ibu juga tak bisa berbuat apa-apa selain menyuruhku untuk ikuti kemauan Bapak. Padahal, mereka sudah tahu sejak kecil aku tidak tega melihat binatang sedang dipukul. Aku menangis apabila kucing tetangga atau kucing kampung sedang dipukul dengan sapu lidi. Tapi tetap saja mereka tak peduli.
Keinginan Bapak sudah bulat menjadikan aku sebagai penunggang sapi karapan. Karena tubuhku sudah cukup ringan, katanya. Aku sangat muak dengan pertunjukan itu. Mereka menyaksikan kesakitan sapi-sapi karapan yang berpacu di tanah lapang yang tidak pernah didengar. Betapa merintihnya saat binatang itu dipukul dengan coraco atau alat pukul yang terdapat paku-paku tajam di sekelilingnya.
Aku pernah nonton pertunjukan itu waktu kecil bersama Ibu. Ayo melihat Bapakmu di Stadion R. Sunaryo Pamekasan beraksi, kata Ibu. Aku kira Bapak sedang ikut lomba tarik tambang atau turnamen bola. Ternyata Ibu mengajakku menonton karapan sapi yang katanya piala bergengsi bergelar Presiden hanya diadakan setahun sekali itu.
Sesampai di dalam lapangan, waktu itu aku cukup kaget. Banyak tenda-tenda yang bertengger. Aku kira banyak anak sekolahan yang sedang melakukan kemah. Ternyata bukan. Asap penjual sate dan gulai berterbangan menyesap ke dalam hidung. Membuatku sering lapar menghirupnya.
”Di sana tempat Bapak Cong*,” jari Ibu menunjuk-nunjuk ke arah tenda berwarna kuning jeruk yang terletak di sebelah barat. Dekat dengan tempat duduk penonton.
Pagar-pagar yang terbuat dari anyaman bambu membujur sepanjang lapangan. Terjalin dengan rapi di depan para penonton. Beberapa kali toa yang berada di atas sebuah panggung mengeluarkan peringatan kepada penonton. Agar berhati-hati terhadap copet-copet yang katanya sudah banyak berdatangan.
Aku dengan Ibu melangkahkan kaki setelah aku memintanya untuk membelikan es jeruk yang terpampang di atas meja pada salah satu pedagang. Kemudian aku berjalan di samping Ibu. Dia selalu memegang tanganku. Aku memintanya untuk melepaskannya karena pada saat itu aku sedang kerepotan meminum es jeruk melalui sedotan. Tanganku terlalu kecil memegang gelas yang terbuat dari plastik. Tapi Ibu membiarkan pintaku meskipun es jeruk itu tumpah berkali-kali di kerah bajuku.
”Ayo dipercepat jalannya. Ada sapi yang mau melintas,” kata Ibu.
Aku hanya diam. Fokus pada tanganku yang dari tadi menahan gelas es jeruk yang kutekan pada dada. Melirik ke kanan. Di bawah sebuah tenda berwarna biru terdapat dua pasang sapi yang sedang rebah di tanah. Sekeliling sapi-sapi itu tampak ada banyak orang yang sedang duduk-duduk. Mereka berseragam merah cerah yang di punggungnya bernama Bintang Kejora kemudian disusul tulisan Sumenep di bawahnya.
Kebanyakan dari mereka adalah bapak-bapak yang memakai topi koboi. Sedang merokok dan ada juga yang sedang mengipas-ngipas wajahnya menggunakan topi. Aku juga melihat anak-anak seumuran kakak sepupuku yang saat ini kelas 5 SD. Dia memakai kaos kaki lapis tiga di kaki kirinya. Dia memegang cambuk yang talinya masih terikat pada gagang. Entahlah aku tidak tahu anak itu sebagai apa di sana.
Coool....Semua orang berhamburan ke pinggir pagar. Ada yang melompat-lompat juga di belakang penonton. Riuh penonton, suara cambuk, dan suara kelereng dalam kotak alumunium mengudara. Ibuku dengan cepat menarikku untuk pergi ke depan. Aku sangat takut waktu itu. Ibuku berada di garis finis dan menyuruhku untuk melawan arah.
"Kamu diam. Kamu diam. Cukup ikuti Ibu. Ibu memegangmu. Ibu memegangmu." Ibu mengucapkan itu terus tanpa melihat ke arahku.
Tatapannya ke depan, di mana ada dua pasang sapi yang berlari dengan cepat di depannya. Di atas sapi itu ada penunggang yang sedang berjinjit pada bambu yang menyerupai tangga atau dikenal dengan istilah pangonong.
Setelah pacuan itu selesai. Dengan segera aku pergi ke lokasi Bapak berada, di mana tempat Bapakku sedang beraksi, kata Ibu. Ternyata Bapak adalah seorang joki atau penunggang sapi karapan. Bapak dipilih karena kehebatannya memanjat tebing. Memiliki kaki yang kuat dan juga keberanian. Dia di sana juga memakai kaos kaki di kaki kirinya. Sama seperti anak seumuran kakak sepupuku yang tadi kulihat di tenda biru.
”Ibu kenapa pantat-pantat sapi itu berdarah?” tanyaku kebingungan.
”Memang begitulah caranya agar mereka cepat berpacu.”
”Kasihan sekali bu. Pasti sakit dan perih.”
”Iya segera diobati kalau sudah selesai. Biar pulih kembali.”
”Siapa yang melukai sapi-sapi itu Bu?”
”Ya Bapakmulah. Itukan tugas seorang joki.”
Setelah panjang lebar penjelasan Ibu dan tanya jawabku dengannya, aku memintanya untuk pulang. Aku menangis di sana saat Bapak memperlihatkan coraco kepadaku. Betapa tidak kasihannya joki-joki itu kepada sapi-sapi. Pasti sapi itu merintih kesakitan, pikirku waktu itu.
***
Semenjak itu aku enggan menonton karapan sapi di tahun-tahun selanjutnya. Aku memilih fokus sekolah. Tapi Bapak tetap memaksaku. Bahkan aku diancam akan dikeluarkan dari status keluarga. Demi nenek moyang kami terdahulu, sumpahnya.
”Nak Bapak sudah tua. Ini antara janji Bapak dengan nenek moyangmu. Bapak tidak ingin mendustai perkataan Bapak dan mendapat kutukan dari nenek moyang kita. Tubuh Bapak ada padamu nak. Kamu dilahirkan bertubuh pendek ini bukan apa. Ini sebagian jawaban dari ritual yang dilakukan Bapak di dalam Gua Pajudan di Sumenep. Agar Bapak mempunyai penerus untuk melanjutkan tradisi ini,” ucapnya memelas.
”Itu bukan tradisi Pak. Kekerasan terhadap hewan itu tidak dibolehkan. Manusia memang tidak mendengar apa yang dirasakan oleh binatang itu. Tetapi itu penyiksaan Pak. Dosa!” kataku memberanikan diri.
”Kamu harus mau. Titik. Bapak tidak ingin menanggung beban kutukan selama hidup. Lagi pula ini untuk kepentingan ekonomi keluarga juga. Tapi ingat. Jangan jadikan ini sebagai pekerjaan. Jadikan ini sebagai pengabdianmu sebagai seorang anak dan kepada Madura,” katanya dengan suara berat. Dia langsung pergi ke halaman depan menemui Ibu.
Sebagai anak apa memang selalu seperti ini? Hak-haknya ada pada orangtua dan semua kemauan orangtua apakah juga harus diikuti meskipun itu tidak benar? Lagi-lagi alasannya untuk menghormatinya. Aku terus mengerutu pada diri sendiri.
Dua bulan lagi pertujukan itu digelar. Dibagi menjadi dua kali perebutan tiket masuk ke Piala Presiden. Piala Padhanan atau antar kecamatan dan Piala Kabupaten. Di dalam perlombaan itu akan diambil enam juara. Tiga di golongan kelas atas dan tiganya lagi di kelas bawah.
Pagi-pagi sekali aku diajak Bapak untuk berlatih. Kali ini aku diajak ke pesisir Tanjung. Kebetulan waktu itu air sedang surut agak menjorok ke selatan. Sehingga batu karang-batu karang tempat kepiting dan kerang sembunyi itu kelihatan di permukaan. Tidak ada sapi yang dibawa pada waktu itu.
Coba berjalan di atas hamparan batu karang itu tanpa alas kaki, pintanya. Aku patuhi permintaannya. Aku berjalan ke timur dan ke barat sepanjang batu karang itu membujur. Awalnya sakit sekali menapaki batu karang yang sebagiannya tajam itu. Tetapi lama-kelamaan kakiku seakan sudah terbiasa akan kesakitan-kesakitan itu.
Sampai senja ingin tenggelam, latihan ini terus dilakukan selama seminggu. Pada malam harinya sehabis latihan, Bapak memberiku soda putih untuk diminum bersama kuning telur ayam kampung.
Setelah latihan kaki, kini aku diajari cara memegang coraco. Betapa gemetarnya tanganku memegang benda yang dikelilingi paku tajam itu. Rasa-rasanya ingin menangis. Tetapi Bapak memberitahu sesuatu hal yang lain. Sesuatu yang ada sebelum kemunculan coraco.
”Dulu orang-orang mengadakan karapan sapi hanya sebagai hiburan di kala panen sudah dirampungkan. Hadiahnya berupa kambing dan juga beras sekarung. Pangonong itu tetap ada. Lengkap dengan penunggangnya. Pantat sapi itu tidak dipukul dengan benda tajam seperti ini. Tapi dengan pak-kopak atau sejenis potongan sandal yang terbagi dua. Penunggang itu memukul pantat sepasang sapinya dengan alat itu. Di belakang sepasang sapi itu tetap harus ada bunyi-bunyi yang merangsang sapi itu untuk berlari,” kata Bapak.
”Terus kenapa ada alat ini, Pak?” tanyaku penasaran.
”Awalnya ada seseorang pemilik sapi berbuat curang. Dia menusuk pantat sapi dengan paku kecil. Dia terus mencoba terkait penemuannya itu untuk digunakan pada lomba yang sedang berlangsung. Memang sangat ampuh membuat sapinya berpacu dengan cepat. Dia selalu juara satu pada waktu itu. Lalu, perbuatannya diketahui oleh anggota yang lain tanpa memberitahukan kecurangan itu kepada juri. Akhirnya cara itu dilakukan. Dan berkembang menjadi yang kamu pegang itu,” ucapnya sambil menatap tanah.
”Tapi ini sakit Pak. Menyakiti sapi. Cobalah dibayangkan bagaimana kalau manusia yang dipukul dengan ini berkali-kali. Apa yang dirasakan? Pasti sangat kesakitan seperti yang sapi itu rasakan Pak.”
”Kamu mau Bapakmu menjadi lelaki terkutuk? Kamu mau dihapus dari status keluarga?”
”Tidak tahu Pak.”
Perlawananku tetap tak berkutik di mata Bapak. Dia terus memikirkan bagaimana kutukan itu tidak muncul pada keluarga. Dia telah menghibahkan nyawanya sendiri jika seandainya aku tidak mengikuti kemauannya. Betapa cerobohnya Bapak pada saat dia bersumpah pada nenek moyangnya.
"Sekarang kamu pukulkan alat ini ke pantat sapi. Kalau salah satu dari sapi itu melambat, kamu pukullah dengan keras sebelahnya itu agar seimbang larinya. Kalau bisa coraco itu digesek-gesekkan," katanya keesokan harinya sambil membawaku ke tempat latihan.
Aku mencoba apa yang dikatakan bapak meskipun dadaku terasa berat menerima itu semua. Betapa sesak ini berdesakan sembari keluarnya napas. Degupan-degupannya merintih seperti pantat sapi yang menyemburkan bercak darah.
Perlahan aku menaiki pangonong dengan satu kaki. Katanya kaki satunya dibiarkan dahulu sebelum keadaan sapi itu tenang. Semua tubuh sapi itu dilaburi balsam. Sekeliling kaki, mata, dan hidungnya juga diberi. Betapa panas balsam itu menyengat ke dalam hidungku
Setelah keadaan tenang kutapaki kaki sebelahnya. Tanganku menggelung ekor sapi sembari memegang coraco. Setelah semua benar-benar siap Bapak memperingatiku untuk hati-hati dan mengingat apa yang sudah dipelajari.
Dalam hatiku sedang bergemuruh. Sapi itu melompat dan melangkah jauh setelah lepas dari pegangan banyak orang. Beberapa orang mengejar dengan macam bunyi-bunyian di belakang. Tanganku terus mengutuk diri sendiri dan kenyataan memukul pantat sapi itu. Setetes demi setetes darah muncul di pantat sapi, aku terus melakukannya sampai di finis nanti. Hampir sampai pada garis finis kakiku melurus dan tubuhku merebah pada pangonong sembari merangkul kedua tubuh sapi.
Bapakku datang dari arah lapangan. Dia merangkulku dengan raut muka berbinar-binar. Ucapan selamat dan keren berhamburan pada orang-orang yang berkerumun. Bagaimana pun hatiku tetap menangis melakukan itu. Tetapi ini demi hati kecil Bapak. Mau tidak mau harus mau melakukan ini semua.
”Ini gaji latihanmu. Haji Tohir suka dengan hasil latihanmu. Jadi uangnya dikasih lebih,” kata Bapak.
Uang lima ratus ribu aku terima dari tangan Bapak. Aku kenal dengan Haji Tohir. Dia seorang pemilik sapi yang sering sekali mendapatkan juara di Piala Presiden. Bapakku bekerja di sana. Maka dari itu dia memintaku untuk jadi penerusnya. Agar dapur tetap menguarkan asap dan dijauhi dari utang.
Catatan:
Cool... diambil dari kata ocol (Madura) yang artinya lepas. Cool...adalah kata seruan sebagai simbol ada sapi yang terlepas.
Zainal A. Hanafi adalah berasal dari Pamekasan, Madura. Buku perdananya kumpulan cerpen berbahasa Madura Èsarèpo Bèncong yang telah diterbitkan di Halaman Indonesia (2017). Cerpen-cerpennya tersiar di Jawa Pos Radar Madura dan Media Indonesia. Pegiat literasi di komunitas Sivitas Kotheka.