Bisa saja dia membunuh sekutu Belanda. Namun, kalau itu dilakukan, Cirebon akan rata dengan tanah. Sebab, saat itu, kapal perang penjajah sudah berjejer di pelabuhan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Sultan Muhammad Shafiudin Matangaji memilih menanggalkan jubah ”kebangsawanannya” ketika penjajah Belanda bekerja sama dengan elite Keraton Cirebon pada abad ke-17. Sebagai Sultan Sepuh V, Matangaji memilih keluar dari keraton ketimbang melawan kerabatnya yang menyingkirkannya demi kekuasaan. Jalan damai dipilih ketimbang menuruti nafsu berkuasa.
”Beliau menjadi warga biasa dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Matangaji juga membangun pesantren di sebuah desa,” ujar pemerhati sejarah sekaligus Ketua Dewan Kesenian Cirebon Kota Akbarudin Sucipto dalam perbincangan bersama Kompas, Kamis (27/6/2019), di sela-sela Festival Budaya Sunyaragi, di Cirebon.
Daerah yang dimaksud berada di Desa Matangaji, Kecamatan Sumber, dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon kini. Di desa itu pula, Matangaji mengumpulkan senjata untuk melawan Belanda, seperti pedang dan tombak.
Suatu hari, tersiar rumor bahwa Matangaji tewas di tangan Belanda. Adiknya, Pangeran Abu Hayat Suryakusuma, yang juga keluar dari keraton, bersama rakyatnya pun marah. Mereka lalu mengepung keraton yang dikuasai keluarga Pangeran Abu Hayat.
Singkat cerita, Abu Hayat memenangi pertarungan tersebut. Bahkan, kabarnya, Abu Hayat tinggal mengibaskan pedangnya untuk memenggal kepala keluarganya yang bersekongkol dengan Belanda. Tak ada halangan apa pun. Keraton bakal berada di tangan Abu Hayat.
Namun, ia menolak menghunuskan pedangnya dan kembali menjauh dari keraton. ”Pangeran Abu Hayat melakukan itu demi keutuhan Cirebon. Bisa saja dia membunuh sekutu Belanda. Namun, kalau itu dilakukan, Cirebon akan rata dengan tanah sebab saat itu kapal perang penjajah sudah berjejer di pelabuhan,” papar Akbar.
Menurut Akbar, keputusan Sultan Matangaji dan Pangeran Abu Hayat untuk keluar dari keraton dan tidak membalas dendam merupakan pandangan yang dikenal dalam bahasa setempat dengan kang uwis, ya uwis. Artinya, yang sudah berlalu, sudahlah.
Bagi kedua tokoh itu, tidak menjadi sultan di keraton juga tetap dapat bermanfaat bagi masyarakat. Sultan Matangaji, misalnya, membangun pesantren, sedangkan Pangeran Abu Hayat gigih melawan penjajah.
”Kalau keduanya berpikir soal takhta. Tidak mungkin ada di Cirebon,” ujarnya. Lagi pula, menurut Akbar, keputusan elite keraton bekerja sama dengan Belanda saat itu karena tidak ada pilihan lain.
Riwayat tersebut jarang diketahui masyarakat Cirebon sehingga disebut sejarah peteng, yang ditutup-tutupi. Keturunan para sultan di keraton memilih tidak mengungkit luka sejarah, seperti kudeta hingga perang saudara.
Menurut Akbar, banyak elite keraton yang bahkan berada di lingkaran pertama kekuasaan memilih menjadi rakyat biasa dan berganti nama ketimbang bersekutu kepada Belanda. Sebagian besar kemudian menjadi tokoh agama dan membangun pesantren. Itu sebabnya, pesantren berumur ratusan tahun tersebar di Buntet dan Babakan, Ciwaringin. Para keturunan mantan elite keraton tersebut juga tidak melancarkan upaya balas dendam.
”Mereka tidak ingin menghancurkan apa yang telah dibangun generasi sebelumnya, yakni perdamaian. Upaya Belanda mengangkat sultan sehingga muncul keraton yang lain juga tidak berhasil memecah rakyat Cirebon,” ungkapnya.
Saat ini terdapat tiga keraton di Cirebon, kota seluas 37 kilometer persegi. Ketiganya adalah Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. ”Kalau di daerah atau negara lain, mungkin ketiganya sudah perang terbuka. Tetapi, di Cirebon aman-aman saja,” lanjutnya.
Prinsip kang uwis, ya uwis, menurut Akbar, tidak hanya menghapuskan niatan balas dendam, tetapi juga membangun toleransi dalam masyarakat Cirebon. Merawat keberagaman jauh lebih mulia dibandingkan dengan menuruti nafsu berkuasa.
Ia masih ingat, ketika kerusuhan Mei 1998, banyak komunitas China mengungsi ke Cirebon. ”Di sini aman. Saya merasakannya karena saat itu saya main gamelan di hotel-hotel yang penghuninya banyak orang China,” ujarnya.
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat mengatakan, toleransi diwariskan oleh Sunan Gunung Jati, kepala pemerintahan di Cirebon antara 1479 dan 1568 atau sekitar 89 tahun. Sunan Gunung Jati merupakan salah satu Wali Songo, sembilan tokoh besar penyebar Agama Islam di Jawa.
”Meskipun menyebarkan agama, beliau tetap menghormati agama lain. Pendekatannya dalam penyebaran Islam juga melalui budaya, bukan peperangan untuk merebut kekuasaan,” ujar Arief. Sunan Gunung Jati bahkan, berpesan, den welas asih ing sapapada (hendaklah menyayangi sesama manusia), apa pun latar belakang budaya dan keyakinannya.
Bukan cerita baru bahwa masyarakat Tionghoa, Arab, Jawa, dan lainnya hidup berdampingan di Cirebon. Namun, ujian terhadap toleransi itu beberapa kali muncul, seperti peristiwa bom bunuh diri di masjid Markas Polres Cirebon Kota pada 2011.
Ketika proses Pemilihan Presiden 2019 terasa ”panas”, masyarakat Cirebon juga adem-adem saja. Hawa pilpres tersebut sempat menghangat ketika pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto–Sandiaga Uno, mengajukan sengketa pemilihan presiden ke Mahkamah Konstitusi.
Sunan Gunung Jati bahkan berpesan, den welas asih ing sapapada (hendaklah menyayangi sesama manusia), apa pun latar belakang budaya dan keyakinannya.
Tim Prabowo-Sandi menilai, telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif pada pemilu yang menurut Komisi Pemilihan Umum dimenangi oleh pasangan capres nomor urut 01, Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. Polarisasi kedua kubu yang telah terasa sejak 2014 pun belum usai.
Kemarin, Jumat (28/6/2019), MK memutuskan menolak dalil yang diajukan tim Prabowo-Sandi. Hasil pemilu presiden pun dinilai sah. Lalu, akankah polarisasi kembali menguat, terutama di jagat maya, seperti masa pilpres kemarin? Waktu yang akan menjawab.
Namun, riwayat Sultan Matangaji dan Pangeran Abu Hayat di Cirebon membuktikan, kekuasaan tidak perlu dikejar. Apalagi, dengan mengatasnamakan balas dendam. Keduanya tetap berkontribusi terhadap peradaban masyarakat Cirebon. Kang uwis, ya uwis….