Hari ini, Minggu (30/6/2019) warga ibu kota dan sekitarnya diajak kembali turun ke jalan. Bukan untuk unjuk rasa, melainkan menikmati Jakarnaval 2019. Boleh dikata, Jakarnaval menjadi puncak rangkaian perayaan ulang tahun Jakarta ke 492 sepanjang bulan ini.
Juni memang bulan istimewa bagi Jakarta. Ibu Kota negara ini berulang tahun tepatnya pada 22 Juni. Acara perayaan bertambahnya usia kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa ini selalu meriah karena yang bergembira adalah seluruh warga. Kemeriahan yang juga selalu diulang sebagai penanda bahwa kota terbesar di Indonesia ini milik bersama, bukan sebagian golongan atau pihak tertentu saja.
Di tengah euforia kemeriahan itu, selalu tak lupa terselip doa dari segenap lapisan warga, agar kota ini bisa terus berbenah, makin baik. Tidak lain agar bisa melayani jutaan warga yang berbeda-beda suku, agama, ras, golongan, juga tingkat ekonomi, pendidikan, pun pilihan politik.
Mewujudkan pelayanan publik yang adil bagi semua warga jelas tidak pernah mudah. Satu kebijakan bisa didukung sebagian masyarakat tetapi dinilai merugikan yang lain. Terkadang dengan pemahaman terbatas, banyak pula terjadi salah paham dan penerimaan atas suatu kebijakan.
Menjadi tantangan pemerintah kota yang telah berusia 492 tahun ini untuk selalu bisa menjembatani semua hal tersebut. Menjadi adil dan hadir bagi semua warga.
Kini, publik amat mengapresiasi semangat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menata trotoar agar ramah pejalan kaki dan mempermudah pengguna angkutan umum bergerak untuk berpindah moda mencapai lokasi tujuan. Namun, semangat membangun itu lantas agak ternoda ketika pedagang kaki lima dan parkir kendaraan dibiarkan mengokupasi sebagian trotoar.
Contoh di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya, membuat kening berkerut. Gerah rasanya setiap hari menapaki kesemrawutan jalan tak berujung.
Ironinya, kesemrawutan ini turut dirasakan di beberapa bagian lain di Jakarta.
Kesemrawutan karena ulah pengemudi tak sabar terjebak dalam kemacetan ditambah ulah "penguasa" di tiap putaran jalan yang bebas mengatur lalu lintas.
Suasana jalanan semakin pelik ketika puluhan motor maupun jejeran mobil ojek daring masih bebas ngetem di bibir dan trotoar seperti di sepanjang jalan di sebagian kawasan Senayan, Kuningan atau Kasablanka, hingga di Cibubur.
Sedikit pun mereka tak terusik, apalagi takut dengan rambu-rambu larangan parkir, berhenti berputar, belok kanan atau kiri jalan, meski di depan mereka ada pos atau petugas kepolisian. Tanpa ada penanganan berarti tingkah pola mereka yang mengusik para penguna jalan lainnya.
Apakah ini bagian dari wajah baru Jakarta?
Apakah ini bagian dari wajah baru Jakarta? Jakarta seharusnya menjadi kota yang nyaman dan aman sebagai pusat destinasi bisnis, konferensi, konvensi dan wisata. Namun sampai saat ini kenyataanya belum sepenuhnya terwujud.