Mendung menggantung di langit Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (1/7/2019) ketika H Hamdan (55), duduk di beranda toko oleh-oleh miliknya di Pasar Seni dan Kerajinan Rakyat Sayang-Sayang, Kecamatan Selaparang. Segelap langit, sekelam itu pula kondisi usahanya kini. Gamang, ia bertahan karena tak ada pilihan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·6 menit baca
Mendung menggantung di langit Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (1/7/2019) ketika H Hamdan (55), duduk di beranda toko oleh-oleh miliknya di Pasar Seni dan Kerajinan Rakyat Sayang-Sayang, Kecamatan Selaparang. Segelap langit, sekelam itu pula kondisi usahanya kini. Gamang, ia bertahan karena tak ada pilihan.
Setiap mendengar suara kendaraan, Hamdan menoleh ke arah pintu gerbang. Sayang, suara kendaraan itu bukan hendak masuk ke pasar seni, melainkan sekadar melintas. Pusat oleh-oleh yang lebih dikenal dengan nama Pasar Seni Sayang-Sayang itu, sehari-hari selalu ramai, karena memang berada tepat di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, salah satu jalan protokol Kota Mataram.
Alih-alih duduk santai, Hamdan yang sudah berjualan di pasar seni itu sejak 2000, memilih masuk ke tokonya. Ia langsung membersihkan dan menata barang dagangannya yang didominasi aksesoris seperti gelang, kalung, hiasan dinding, termasuk gantungan angin bambu.
Di sebelah toko Hamdan, Saidi (38) juga melakukan hal yang sama. Sesekali, ia melempar canda ke Hamdan agar suasana tidak sepi. Siang itu, kawasan pasar seni yang berada 7 kilometer utara pusat Kota Mataram itu sunyi. Nyaris tak ada pembeli.
Pantauan Kompas, sejak dibuka hingga siang, hanya ada satu pembeli yang datang. Mytha Meilissa (31), seorang karyawati salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negera (BUMN) datang untuk membeli plakat berbentuk bale lumbung, sebutan untuk lumbung bagi masyarakat Lombok.
"Saya mau ke Palembang, jadi beli ini untuk oleh-oleh yang memiliki ciri khas Lombok. Jadi saya ke sini. Hitung-hitung membantu juga apalagi sekarang sepi pascagempa," kata Mytha.
Siang itu, dari sekitar 21 toko oleh-oleh yang berada di sisi kiri dan kanan pasar, hanya lima yang buka, termasuk milik Hamdan dan Saidi.
Tak ada aktivitas mencolok. Pemilik toko yang buka, jika tidak menata atau bersih-bersih seperti Hamdan dan Saidi, memilih duduk santai atau tidur di beranda toko. Kadang, ada anggota keluarga mereka yang datang sebentar. Setelah urusan selesai, mereka pergi.
Menurut Hamdan, seperti itulah kondisi Pasar Seni Sayang-Sayang setiap hari hampir satu tahun terakhir.
Gempa bermagnitudo 6,4 yang mengguncang Lombok pada Juli 2018 menjadi pukulan pertama industri pariwista NTB, termasuk para pedagang oleh-oleh di Pasar Seni Sayang-Sayang. Pukulan berikutnya datang dan membuat kondisi jauh lebih parah yakni ketika gempa bermagnitudo 7 mengguncang pada 5 Agustus 2018.
"Pascagempa, semua berubah total. Pengunjung turun drastis. Kami memang sempat tertolong oleh relawan-relawan yang datang berbelanja sebelum pulang," kata Hamdan.
Menurut Hamdan, kedatangan relawan dari berbagai daerah dan negara saat itu, cukup menjadi penyemangat. Tetapi, itu tak berlangsung lama. Begitu masa tanggap darurat berakhir, pengunjung kembali sepi. "Sebelum gempa, hampir setiap hari ramai. Sekarang, bisa enggak dapat apa-apa," ucap Saidi.
Sebelum gempa, pemilik toko oleh-oleh bisa mendapatkan antara Rp 500.000 dan Rp 2 juta sehari. Saat ini, mereka rata-rata mendapatkan sekitar Rp 100.000 sehari. "Dalam seminggu, paling hanya bisa berjualan empat sampai lima kali," kata Hamdan.
Sebelum gempa, pemilik toko oleh-oleh bisa mendapatkan antara Rp 500.000 dan Rp 2 juta sehari. Saat ini, mereka rata-rata mendapatkan sekitar Rp 100.000 sehari.
Bertahan
Hamdan yang berjualan aksesoris sejak 1987 mengatakan, gempa telah membuat industri pariwisata di Lombok terpuruk dan berimbas ke mereka. Kondisi itu kini diperparah pukulan kedua yakni naiknya harga tiket dan bagasi berbayar.
Dalam kondisi seperti itu, kata Hamdan, hanya ada dua pilihan. Pertama, berhenti dan mencari alternatif pekerjaan lain. Kedua bertahan. "Setelah sekian puluh tahun di pekerjaan ini, rasanya sulit mencari pekerjaan lain yang cocok. Jadi saya dan rekan-rekan lain memilih bertahan sambil terus berdoa agar situasi kondusif," kata Hamdan.
Pertimbangan itu, membuat Hamdan dan rekan-rekannya tetap membuka toko setiap hari. Hanya saja, jam buka tidak seperti sebelumnya dari jam 07.00 hingga 20.00 malam, melainkan dari jam 08.00 hingga 17.00.
"Intinya kami buka. Bagaimana pun kondisinya. Itu untuk memperlihatkan kepada orang luar bahwa kami masih ada. Semangat itu yang terus saya dorong ke teman-teman di sini," kata Hamdan.
Hamdan mengatakan, menutup toko bukan pilihan terbaik. Apalagi itu menjadi sumber penghidupan mereka.
"Memang sekarang sepi, tetapi kadang ada saja rezeki yang datang. Pas Lebaran Topat kemarin, banyak toko yang tutup. Tiba-tiba, datang empat mobil membawa wisatawan dari luar. Saya kaget dan langsung menelpon teman-teman agar datang ke sini dan membuka toko," tutur Hamdan.
Menurut Saidi, selain berharap dari satu dua tamu yang datang, beberapa di antara mereka mencari cara untuk menjual dagangan. Ada yang ikut pameran-pameran di dalam maupun luar NTB, berjualan di obyek-obyek wisata, hingga berjualan di platform pemasaran daring (marketplace).
Ada yang ikut pameran-pameran di dalam maupun luar NTB, berjualan di obyek-obyek wisata, hingga berjualan di platform pemasaran daring (marketplace).
Pilihan bertahan dengan terpuruknya industri pariwisata pascagempa dan tingginya harga tiket, tidak hanya dilakukan pedagang di Pasar Seni Sayang-Sayang, pedagang di pasar seni lain seperti di Pasar Seni Senggigi, Lombok Barat, juga melakukan hal serupa.
Heru (43), salah satu pedagang di Pasar Seni Senggigi mengatakan, dua kali "pukulan" pada industri pariwisata Lombok hampir membuat mereka putus asa. Namun, Heru dan pedagang pasar di kompleks yang hanya terpaut satu kilometer dari Pantai Senggigi itu, memilih melanjutkan usaha yang sudah digelutinya puluhan tahun itu.
"Memang tidak buka pagi lagi. Jauh lebih siang. Dulu, sejak pagi sudah ada pembeli yang datang. Sekarang, siang hingga sore belum tentu. Kalau pun ada, jarang. Itu pun mancanegara. Lokal hampir tidak ada," kata Heru yang sudah berjualan di Pasar Seni Senggigi sejak tahun 2000-an.
Meski demikian, Hamdan, Saidi, termasuk Heru optimistis bahwa industri pariwisata Lombok akan pulih. Mereka mengatakan akan terus bertahan, menunggu, sambil terus berdoa. "Tentu juga berharap pemerintah tidak tinggal diam. Harapan kami juga ada pada mereka untuk mempromosikan bahwa Lombok sudah baik-baik saja. Aman untuk dikunjungi," kata Hamdan.
Heru juga berharap ada kebijakan terkait harga tiket pesawat dan bagasi. "Jangan sampai, setelah pulih dari gempa, kami terpuruk lagi karena orang tidak mau datang gara-gara tiket mahal," kata Heru.
Pemerintah Provinsi NTB dan pihak terkait seperti Asosiasi Agen Perjalan Wisata dan Perjalanan Indonesia NTB memang terus mendorong berbagai kegiatan pariwisata, sesuai dengan kalendar even pariwisata NTB 2019 antara lain seperti Festival Bau Nyale, Festival Pesona Tambora, dan Khazanah Ramadhan. Tujuannya untuk menarik wisatawan datang ke NTB. Upaya serupa juga dilakukan pemerintah daerah.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asita NTB Dewantoro Umbu Joka berharap semua pihak bekerjasama agar pariwisata NTB bisa kembali menggeliat. Jangan sampai, kilau pariwisata kian meredup hingga akhirnya mengoyak habis ekonomi warga yang selama ini merenda penghidupan darinya.