Isu pembatasan penggunaan minyak kelapa sawit Indonesia di negara-negara Uni Eropa masih tetap berlangsung. Industri minyak sawit Indonesia dianggap belum mampu memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Oleh
MEDIANA dari Oslo, Norwegia
·3 menit baca
OSLO, KOMPAS — Isu pembatasan penggunaan minyak kelapa sawit Indonesia di negara-negara Uni Eropa masih tetap berlangsung. Industri minyak sawit Indonesia dianggap belum mampu memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Political Advisor to the Minister of Climate and Environment Nowergia Marit Vea menegaskan, Norwegia tak melarang penggunaan minyak sawit. Norwegia memahami, industri minyak sawit berperan penting terhadap pendapatan Indonesia. Norwegia mengedepankan upaya agar industri minyak sawit relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
”Kami tengah mengembangkan program pendanaan atau investasi dan insentif kepada perusahaan-perusahaan minyak nabati yang mampu menjunjung tinggi SDGs, termasuk mampu mengurangi deforestasi. Semacam green fund. Kami juga menawarkan program ini ke salah satu pemerintah daerah di Indonesia,” ujar Marit Vea dalam sambutannya di seminar ”Sustainable Peat Land and Palm Oil Contributions toward the Achievements of the UN SDGs”, akhir pekan lalu, di Oslo, Norwegia.
Special Advisor Finance and Deforestation of Rainforest Foundation Norwegia Vemund Olsen menambahkan, pihaknya mengapresiasi upaya positif Indonesia untuk mengembangkan bisnis minyak sawit tanpa merusak hutan. Upaya itu misalnya moratorium izin perkebunan sawit melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 yang masih berlangsung sehingga menekan deforestasi.
”Posisi kami tegas, yaitu setiap perusahaan minyak sawit harus bisa memastikan bisnisnya tidak mengancam kenaikan deforestasi. Ada sejumlah investor industri tidak mau berinvestasi di sektor ini karena alasan produk berbahan baku minyak kelapa sawit merusak hutan,” ujarnya.
Duta Besar Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis menyebutkan, Pemerintah Indonesia memperhatikan target SDGs untuk industri minyak sawit. Hingga saat ini, industri itu menyerap sekitar 20 juta tenaga kerja.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang menambahkan, 457 perusahaan telah mengantongi sertifikat perusahaan minyak sawit berkelanjutan pada 2018. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan 2014 yang sebanyak 63 perusahaan.
Cara mendapatkan ISPO tidak mudah dan mahal. Dari sekitar 700 perusahaan anggota Gapki, baru sekitar 400 perusahaan yang sudah bersertifikat.
”Bagi mereka (perusahaan berskala kecil dan petani individu), pertanyaan yang sering muncul, apakah dengan mengantongi sertifikat berkelanjutan bisa menjamin mereka mendapatkan harga jual layak,” katanya.
Sertifikat kelapa sawit berkelanjutan
Ada beberapa jenis sertifikat kelapa sawit berkelanjutan, seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainability and Carbon Certification (ISCC), dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MPSO) for Malaysian Plantation. Tuntutan sertifikasi berkelanjutan semakin bertambah seiring isu lingkungan berkelanjutan, seperti REDD 2. Togar berpendapat, sebaiknya sertifikat pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan datang dari negara produsen, bukan negara pasar.
Profesor Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Yanto Santosa, mengungkap penelitiannya pada 2015-2017 di kebun sawit 8 perusahaan di Riau, 4 perusahaan di Sulawesi Barat, 4 perusahaan di Kalimantan Barat, dan 4 perusahaan di Kalimantan Tengah. Hasilnya, sekitar 20 persen lahan perkebunan kelapa sawit berasal dari penutupan lahan hutan sekunder. Sisanya dari tanah transmigrasi dan tanah telantar.
Oleh karena itu, Yanto berpendapat, tuduhan deforestasi yang dialamatkan kepada Indonesia tidak pas. Jika ingin menuduh Indonesia, Uni Eropa sebaiknya lebih spesifik menyasar perusahaan sawit yang menyebabkan deforestasi.
Pietro Paganini, profesor di John Cabot University, Roma, Italia, mengatakan, konsumen Uni Eropa memiliki persepsi negatif terhadap minyak sawit, baik menyangkut urusan kesehatan maupun lingkungan. Hal ini, menurut dia, berdasarkan temuan riset.
Persepsi negatif terhadap minyak sawit dibentuk pemberitaan yang sering kali belum dibuktikan kajian ilmiah. Konsumen yang memiliki persepsi negatif sehingga tidak mau mengonsumsi minyak sawit acap dipengaruhi lingkungan pertemanan mereka. Situasi ini mendorong penjualan produk makanan berbasis minyak sawit anjlok. Sebagai gantinya, produk yang menggunakan minyak nabati lain naik.
”Temuan kami juga menunjukkan, kadar lemak makanan dengan bahan minyak nabati lain lebih banyak dibandingkan dengan memakai minyak sawit. Jadi, kampanye palm oil free sebenarnya lebih karena motif dagang,” ujar Pietro.