Aparat kepolisian terus menyelidiki dugaan aktivitas penambangan ilegal di area hutan di Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Puluhan hektar kawasan hutan produksi itu ditambang untuk tanah urukan selama beberapa tahun terakhir.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Aparat kepolisian terus menyelidiki dugaan aktivitas penambangan ilegal di area hutan di Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Puluhan hektar kawasan hutan produksi itu ditambang untuk tanah urukan selama beberapa tahun terakhir.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Iriyanto menyampaikan, pihaknya terus memeriksa sejumlah pihak terkait dengan kasus ini. Tujuannya untuk mengetahui pasti adanya pelanggaran terkait dengan penambangan ilegal di area hutan.
”Proses penyelidikan terus berjalan. Intinya, ada proses administrasi yang tidak benar, makanya dilakukan penindakan,” ujar Iriyanto di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (1/7/2019).
Sebelumnya, Jumat (28/6), aparat Polda Sultra bersama tim dari Bareskrim Polri menyegel 117 alat berat yang sedang menambang di Desa Tanggobu, Kecamatan Morosi. Kendaraan ini terdiri dari 81 truk, 33 eskavator, 2 loader, dan 1 buldoser.
Alat-alat berat ini ditemukan sedang menggali tanah uruk tanpa izin di kawasan hutan. Para petambang tidak memiliki izin usaha untuk penambangan tipe galian C. Mereka juga mengambil tanah di kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Informasi yang dihimpun Kompas, proses penggalian dan pengambilan tanah di kawasan ini telah berlangsung sejak awal 2018. Sekitar 20 hektar hutan produksi yang dulunya berbukit-bukit telah habis menjadi dataran baru. Penyelidikan sementara, tanah hasil pengerukan dan penggalian dipakai untuk bahan pengurukan.
Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Harry Golden Hart mengatakan, proses penggalian itu diduga telah berlangsung cukup lama. Proses penyelidikan juga telah dilakukan dalam jangka waktu yang tidak sebentar.
”Kami harus hati-hati menindak. Penyelidikannya cukup lama, sekitar tiga bulan, terkait dokumen, siapa-siapa yang terkait, dan teknis di lapangan, dilakukan, lalu dilakukan penindakan,” ucap Harry.
Menurut Harry, penggalian dan pengambilan tanah di kawasan hutan sendiri melanggar Pasal 89 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukuman minimal 10 tahun. Sementara itu, penggalian tanpa izin melanggar Pasal 158 UU No 4/2009 tentang Pertambangan dan Minerba, dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara.
”Intinya, mereka menyalahi aturan karena tanpa IUP dan kedua tanpa IPPKH,” ujar Harry.
Evaluasi
Berdasar penyelidikan kepolisian, alat berat tersebut milik PT Obsidian Stainless Steel (OSS), perusahaan pengolah nikel di daerah tersebut. PT OSS adalah salah satu perusahaan afiliasi di bawah payung PT Virtue Dragon Nickel Industrial Park (VDNIP). PT VDNIP mengelola kawasan ribuan hektar di Kecamatan Morosi.
Rusmin Abdul Gani, Deputi Site Manager VDNIP, menyebutkan, PT OSS memang perusahaan yang tidak memiliki izin aktivitas tambang galian tipe C untuk penggalian dan pengambilan tanah urukan. Perusahaan ini hanya melakukan pemurnian bahan mentah nikel menjadi veronikel.
”Selama ini kami hanya berkontrak dengan kontraktor terkait pembelian tanah. Kami terima di lokasi sekian kubik, itu yang dibayarkan. Semua pengambilan tanah urukan ini kewenangan kontraktor, juga masyarakat setempat,” ucap Rusmin.
Terkait dengan adanya kendaraan milik PT OSS di lokasi pengambilan tanah, Rusmin berdalih, semua tanpa sepengetahuan perusahaan. Bisa saja alat tersebut ada di dalam lokasi pengambilan tanah karena dibawa oknum-oknum tertentu.
Keberadaan kendaraan itu, tambahnya, juga menjadi perhatian perusahaan. Pihaknya akan mengevaluasi kontrak yang ada. Selama ini ia mengira semua izin dan lokasi pengambilan tanah urukan tersebut sesuai dengan prosedur yang berlaku.
”Saya baru di sini. Jadi, saya kira semuanya sudah dicek sebelumnya. Kami akan evaluasi ini dan menunggu proses penyelidikan dari kepolisian. Kendaraan kami di lokasi juga tidak semuanya, hanya sekitar 20,” kata Rusmin.
Rusaknya kawasan hutan karena aktivitas tambang menjadi perhatian banyak pihak. Bencana banjir besar baru-baru ini diduga kuat karena kerusakan hutan dan kritisnya daerah aliran sungai. Data Dinas Kehutanan Provinsi Sultra, sekitar 300.000 hektar kawasan hutan dalam kondisi kritis akibat berbagai aktivitas.