Tradisi "Dolo-dolo" Suku Lamaholot, NTT Direvitalisasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan merevitalisasi tradisi “dolo-dolo”, suku Lamaholot di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Kegiatan itu merupakan bagian upaya revitalisasi bahasa, tarian, lagu, dan sastra lisan dari berbagai daerah di 34 provinsi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan merevitalisasi tradisi “dolo-dolo”, suku Lamaholot di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan itu merupakan bagian upaya Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan melakukan revitalisasi bahasa, tarian, lagu, dan sastra lisan dari berbagai daerah di 34 provinsi yang dilakukan secara bertahap.
“Kegiatan ini merupakan bagian revitalisasi sastra berbasis komunitas. Kami fokus di Desa Horinara di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur karena di sana ada komunitas dolo-dolo yang sudah terbentuk sejak 2008 sehingga mudah dihimpun, diberdayakan, malah didalami,” kata Peneliti Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ferdinan Moses Tempo di Larantuka, Senin (1/7/2019). Kegiatan dilakukan selama 16 hari.
Tradisi dolo-dolo tersebar di tiga kabupaten di NTT yang menganut budaya Lamaholot yakni Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Kabupaten Alor. Total penduduk di daerah itu sekitar 450.000 jiwa.
Tari dan lagu
Dolo-dolo merupakan gerak tari sambil berpantun yang sarat makna di kalangan suku Lamaholot. Dolo-dolo sendiri secara keseluruhan dipahami sebagai sebuah teks besar sastra suku Lamaholot yang menjadi inspirasi putra/putri Lamaholot dalam berkesenian.
Namun dalam pratiknya, dolo-dolo dijalankan dalam bentuk lebih sederhana yakni gerak tari dan lagu. Tarian dilakukan secara massal dengan peserta 10-100 orang, saling bergandengan pada jari kelingking, atau berpegangan tangan di bagian pergelangan tangan sambil membentuk lingkaran. Peserta kemudian berjalan keliling dengan irama sentakan kaki di lantai secara bersamaan, sambil bernyanyi (berpantun).
Jika penari sampai 100 orang atau lebih, mereka harus membentuk beberapa lingkaran, mulai lingkaran terkecil di bagian tengah, berjumlah 10 orang, berturut-turut sampai lingkaran terbesar. Lingkaran terluar memiliki jumlah penari terbanyak.
Mereka saling berbalas pantun. Isi pantun dalam dolo-dolo menyangkut hampir semua sisi kehidupan masyarakat Lamaholot, yakni ekonomi rumah tangga, kehidupan sosial, cinta muda –mudi, kegiatan melaut, menanam, menyadap, pantun khusus bagi mereka yang ada di tanah rantau, dan sebagainya.
Tarian dan lagu dolo-dolo kebanyakan dibawakan siang atau malam hari, sebagai ucapan syukur atas hasil panen. Tarian dan lagu itu juga dibawakan dalam pagelaran ritual adat tahunan di rumah adat, pernikahan, dan pesta-pesta lain yang melibatkan puluhan bahkan ratusan orang.
Kebanyakan orang Lamaholot memilih menggelar dolo-dolo malam hari karena pada saat itu diyakni, arwah leluhur (nenek moyang) hadir bersama mereka melalui berbagai rupa.
Mantera dan pantun
Dolo-dolo juga sering dikaitkan dengan sastra lisan, berupa syair mantera-mantera purba. Mantera-mantera purba (tua) itu hanya bisa dipahami kelompok orangtua, yang sejak puluhan tahun menggeluti tari dan lagu itu meskipun ada pula pemantera yang mendapatkan kemampuan itu sebagai pemberian dari nenek moyang.
Mereka yang pandai bermantera, pandai juga dalam berpantun. Syair mantera lebih dalam, dan luas maknanya sehingga sulit dipahami dengan bahasa yang sederhana. Adapun syair pantun mudah dipahami peserta tarian sehingga peserta tari saling berbalasan pantun secara spontan.
Belakangan dolo-dolo mulai ditinggalkan sebagian besar anak muda Lamaholot. Mereka lebih memilih musik pop, musik dansa, dan musik jenis lain seperti ja’i dari Bajawa atau Nagekeo, poco-poco dari Sulawesi Utara, rokatenda dari Ende, serta gemufamire dari Maumere.
Generasi muda saat ini juga sangat sulit berpantun, apalagi bertutur dalam syair-syair tua (mantera) meskipun gerak tari dolo-dolo sangat mudah dijalankan hanya perlu latihan.
Namun kalangan orangtua lebih memilih dolo-dolo karena gerak tari dan cara berpantun dinilai lebih sopan, terhormat, dan bermartabat. Apalagi saat membawakan dolo-dolo di tanah perantauan, peserta selalu terkenang akan tanah tempat asal, Lamahalot.
Kalangan orangtua lebih memilih dolo-dolo karena gerak tari dan cara berpantun dinilai lebih sopan, terhormat, dan bermartabat.
“Melalui pantun atau mantera tua, orang mampu mengungkapkan asal usul nenek moyang mereka bahkan bagaimana dunia ini dijadikan, dan bagaimana manusia diciptakan. Kisahnya hampir sama dengan kisah penciptaan manusia dan seluruh isi bumi di dalam Kitab Suci,” kata Ketua Adat Horinara, David Kopong Lawes.
Melalui sastra lisan tertua masyarakat Lamaholot itu, generasi Lamaholot tahun 1990-an sampai hari ini melahirkan sejumlah karya sastra berupa puisi, cerpen, prosa,dan lagu-lagu rohani. Bahkan tradisi itu diadaptasi dalam buku misa yang diberi judul “misa dolo-dolo”. Adaptasi dilakukan Keuskupan Larantuka yang membawahi suku Lamaholot.
Pendamping Sanggar Nara Baran, Desa Horinara, Kecamatan Adonara Timur Kabupaten Flores Timur, Lusia Uba Salan mengatakan dengan adanya kegiatan di sanggar Nara Baran, masyarakat setempat semakin sadar akan tradisi dolo-dolo. Tradisi ini tak sekadar tarian biasa karena dolo-dolo mengandung filosofi dasar budaya masyarakat suku Lamaholot.
Komunitas sanggarnya beranggotakan 51 orang, dengan rentang usia 4-28 tahun. Komunitas memiliki rekam jejak yang konsisten dalam mewariskan tradisi atau budaya Lamaholot. Dalam kegiatan revitalisasi yang juga penelitian itu, dolo-dolo dibawakan oleh anak-anak.