Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengingatkan, zona merah atau terlarang pascagempa bumi di Sulawesi Tengah harus dikosongkan dari hunian, permukiman, dan pertokoan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengingatkan zona merah atau terlarang pascagempa bumi Sulawesi Tengah harus dikosongkan dari hunian, permukiman, dan pertokoan. Zona tersebut berisiko tinggi terhadap dampak gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi.
”Kita jangan lagi membangun rumah, permukiman, atau toko di tempat yang telah ditetapkan sebagai zona merah. Itu akan merepotkan yang bersangkutan dan kita semua nanti,” kata Wiranto saat acara peletakan batu pertama pembangunan hunian tetap di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (1/7/2019).
Kita jangan lagi membangun rumah, permukiman, atau toko di tempat yang telah ditetapkan sebagai zona merah. Itu akan merepotkan yang bersangkutan dan kita semua nanti.
Turut hadir dalam acara tersebut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal Doni Monardo, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, dan Sekretaris Daerah Sulteng Hidayat Lamakarate.
Pascagempa yang diikuti tsunami dan likeufaksi pada 28 September 2018 di Kabupaten Donggala, Sigi, dan Kota Palu, pemerintah menetapkan zona merah untuk lokasi yang hancur. Titik-titik di zona merah itu adalah bekas likuefaksi, tsunami, dan jalur sesar. Penyintas di zona merah dievakuasi di lahan baru yang aman. Pemerintah menyediakan rumah atau hunian tetap untuk mereka.
Namun, di lapangan, sejak awal tahun 2019, banyak rumah dibangun lagi di titik-titik atau zona merah tersebut. Hal itu terlihat di Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu. Sekitar 30 rumah sudah dibangun dan ditempati. Rumah-rumah baru juga terlihat di jalur sesar Palu-Koro di Kecamatan Palu Barat dan Kecamatan Tatanga.
Wiranto mengingatkan, wilayah Indonesia berada dalam jalur cincin api (ring of fire) yang rentan menimbulkan gempa bumi tektonik dan letusan gunung api. ”Itu artinya, kita harus selalu waspada, termasuk masyarakat di Sulteng,” katanya.
Kebutuhan rumah
Pemerintah saat ini telah memastikan total 8.788 hunian tetap atau rumah untuk penyintas yang harus direlokasi. Rumah itu diperuntukkan bagi sekitar 30.000 jiwa. Rumah tersebut dibangun di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Khusus untuk Palu dan Sigi dengan tiga lokasi relokasi, hunian berkonsep massal. Artinya, rumah dibangun terkonsentrasi di satu titik dengan fasilitas sosial di dalamnya.
Sementara untuk Parigi Moutong dan Donggala, rumah dibangun terpisah satu sama lain yang jaraknya tak terlalu jauh dari lokasi awal rumah sebelum gempa.
Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto menyatakan, model relokasi di Donggala dan Parigi Moutong dilakukan tak kolektif karena mempertimbangkan sumber mata pencarian penyintas. Kebanyakan penyintas di Donggala nelayan. Sementara di Palu dan Sigi, mata pencarian penyintas beragam.
Hunian tetap yang akan dibangun di Desa Pombewe sebanyak 1.500 unit dengan luas lahan 362 hektar. Untuk tahap pertama akan dibangun 1.000 hunian tetap. Hunian tetap tersebut dibangun oleh Yayasan Buddha Tzu Chi. Pembangunan tahap kedua nanti dilakukan oleh Kementerian PUPR sebanyak 500 unit.
Hunian tetap yang dibangun berkarakter sama, yakni luas bangunan 36 meter persegi dengan luas lahan 150 meter persegi. Hunian berspesifikasi tahan gempa. Pembangunan hunian tetap ditargetkan dalam dua tahun atau hingga akhir 2020.
Pembangunan hunian tetap penyintas saat ini dilakukan di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Sekitar 100 rumah sudah hampir rampung dibangun. Rumah-rumah tersebut dibangun oleh Yayasan Budha Tzu Chi.
Arie menyatakan, jatah hunian tetap yang dibangun Kementerian PUPR saat ini masih dilelang. Pembangunan diperkirakan dimulai tahun ini.
Sahama (60), penyintas likuefaksi dari Desa Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru, berharap pembangunan hunian tetap memenuhi target paling lambat dua tahun. ”Kami percaya kepada pemerintah untuk mengurus semua ini setelah gempa, termasuk soal rumah. Hanya, kami meminta kalau ada kendala pembangunan atau penanganan perlu disampaikan kepada masyarakat agar kami mengetahui perkembangannya,” ucapnya.