Debut Para Remaja
Para petenis remaja menjalani debut di Wimbledon, bersaing dengan para petenis senior yang bertekad menambah rekor prestasi mereka.
LONDON, SENIN - Wimbledon 2019 tak hanya menjadi arena persaingan pada petenis senior dalam menambah deretan rekor mereka. Turnamen tenis tertua yang digelar sejak 1877 itu juga menjadi momen debut para petenis remaja yang punya impian menyamai prestasi senior mereka.
Di antara mereka ada petenis putri Amerika Serikat Cori Gauff (15). Petenis kelahiran Atlanta, AS, 13 Maret 2004, itu menjadi petenis termuda peserta babak utama Wimbledon pada era Terbuka, sejak 1968.
Dalam debutnya pada babak utama Grand Slam, petenis yang biasa dipanggil Coco itu harus berhadapan dengan petenis berusia 39 tahun, Venus Williams. Laga petenis berbeda generasi itu berlangsung Selasa (2/7/2019) dinihari WIB.
Ini menjadi pertemuan antara petenis termuda dan tertua di tunggal putri. Tak hanya usia, rentang pengalaman keduanya juga ditandai selisih tujuh gelar juara Grand Slam yang diraih Venus. Empat di antaranya didapat sebelum Coco lahir.
“Saya rasa, Venus tak terlalu tua, permainannya masih sangat bagus. Menakjubkan melihat kariernya yang panjang,” kata Coco, yang mengetahui keikutsertaannya di Wimbledon pada saat-saat akhir menjelang babak pertama kualifikasi, 25 Juni.
Dia mendapat wild card untuk tampil dalam babak kualifikasi yang dimulai sehari sebelumnya. “Saya mengetahuinya pada menit-menit terakhir. Saya bahkan belum berkemas untuk datang ke sini. Sungguh gila, hidup bisa berubah hanya dalam hitungan detik,” kata petenis berperingkat ke-273 dunia tersebut.
Sambil menjalani babak kualifikasi, Coco yang mengikuti home schooling harus mengerjakan ujian. Salah satunya adalah tes ilmu pengetahuan alam yang diselesaikan pada pukul 23.00 waktu London, sebelum esok paginya mengalahkan unggulan ke-19, Greet Minnen, pada babak ketiga kualifikasi. Kemenangan itulah yang menentukan penampilan Coco ke babak utama.
Meski memiliki orang tua yang juga atlet, dia adalah petenis pertama di keluarganya. Ayahnya, Corey, adalah atlet basket universitas, sedangkan ibunya, Candi, adalah pesenam. “Saya sangat suka tenis karena hanya dapat menyalahkan dan mengontrol diri sendiri. Saya menyukai aspek individual,” kata Coco, yang mendapat pujian dari Serena dan Roger Federer dengan prestasinya.
Willams bersaudara, terutama Serena, adalah idola petenis yang menyukai pelajaran literature Inggris dan sejarah Afrika-Amerika itu. Poster Serena ditempel di kamar tidurnya di Florida, AS. Coco juga berlatih di tempat yang sama seperti Williams bersaudara, di Pompey Park, Delray Beach, Florida.
“Serena adalah alasan mengapa saya bermain tenis. Saya sangat ingin bermain melawan salah satu di antara Williams bersaudara,” kata Coco.
Dia pun sangat senang ketika undian babak utama mempertemukannya dengan Venus. “Banyak yang bertanya pendapat saya karena harus berhadapan dengan Venus pada babak pertama. Saya senang mendapat undian itu karena melawan salah satu petenis terbaik dunia telah menjadi mimpi saya,” katanya.
Tak hanya Coco, Corey juga terinspirasi dari keluarga Williams, yaitu Richard, sosok ayah yang memperkenalkan Venus dan Serena pada dunia tenis hingga menjadi bintang. “Keluarga Williams menyadarkan saya bahwa apapun bisa terjadi. Tak banyak petenis dengan kulit berwarna di olahraga ini, terutama dari negara kami. Gadis Afrika-Amerika tak bermain tenis,” ujar Corey.
Untuk mengasah kemampuan, Corey mendaftarkan putrinya pada Akademi Tenis Patrick Mouratoglou di Perancis sejak Coco berusia 10 tahun. Mouratoglou, pelatih Serena, memujinya sebagai petenis yang atletis dan memiliki ketangguhan mental.
Meski berusia muda, Coco mampu memecahkan masalah dengan cepat. Itu telah dirasakan saat Coco menjalani tes untuk berlatih di Akademi Patrick Mouratoglou. “Banyak yang menyebut saya petenis masa depan untuk hal ini dan itu. Saya hanya mencoba menjadi diri sendiri,” ujar finalis AS Terbuka Yunior 2017 (dalam usia 13 tahun) dan juara Perancis Terbuka Yunior 2014 tersebut.
Sejak usia 13 tahun, Coco didampingi Team8, agen milik Federer, hingga bisa disponsori New Balance, Head, dan produsen pasta asal Italia, Barilla. Coco pun sangat berharap sang maestro melihat penampilannya melawan Venus.
Mouratoglou berpendapat, publik dan orang-orang di sekitar Coco harus membiarkannya berkembang sesuai usia dan kemampuan. “Dia memang petenis bagus, tetapi akan berbahaya jika ekspektasi orang lain sangat besar dan terlalu cepat. Saat ada petenis bagus, selalu ada komentar dia akan menjadi petenis nomor satu dunia dan menjuarai Grand Slam. Coco masih jauh dari ekspektasi tersebut. Biarkan dia berkembang sesuai usianya,” komentar Mouratoglou.
Kebangkitan Kanada
Di tunggal putra, petenis Kanada berusia 18 tahun, Felix Auger-Aliassime, juga menjalani debut di Wimbledon. Petenis keturunan Afrika itu ditempatkan sebagai unggulan ke-19. Pada babak pertama, Senin, dia mengalahkan sesama petenis Kanada, Vasek Pospisil, 5-7, 6-2, 6-4, 6-3.
Auger-Aliassime datang sebagai petenis peringkat ke-21 dunina yang menjadikannya sebagai petenis termuda dalam posisi 25 besar dunia sejak mantan petenis nomor satu dunia, Lleyton Hewitt pada 1999. Awal tahun ini, Auger-Aliassime masih menempati peringkat ke-106 dunia.
Peringkatnya melonjak dengan menjadi finalis ATP 500 Rio de Janeiro, semifinalis ATP Master 1000 Miami, dilanjutkan prestasi di dua turnamen lapangan rumput yakni menjadi finalis di ATP Stuttgart dan semifinalis ATP Queen’s Club, London, sebelum tampil di Wimbledon.
Petenis yang lahir pada tanggal yang sama dengan idolanya, Federer itu, menjadi bagian dari deretan bintang muda asal Kanada. Sebelumnya, penggemar tenis mengenal Denis Shapovalov yang berusia 20 tahun. Saat ini, petenis keturunan Rusia itu menempati peringkat ke-27 dunia. (AFP/REUTERS)