Kasus ini merupakan pengembangan atas perkara Syafruddin A Temenggung, mantan Kepala BPPN yang ditangani KPK sebelumnya. Kini Syafruddin telah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara oleh pengadilan tingkat banding karena dinilai terbukti bersalah melakukan korupsi dalam pemberian SKL untuk BDNI.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti belum dapat memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dimintai keterangan atas kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Penyidik KPK pun menjadwal ulang pemeriksaan Dorodjatun pada Kamis (2/7/2019).
“Guru Besar Emiritus FE-UI Dorodjatun menyampaikan surat bahwa ada agenda lain hari ini, sehingga pemanggilan akan dilakukan penjadwalan ulang pada Kamis minggu ini,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Agenda pemeriksaan ini dilakukan untuk meminta keterangan atas kasus tindak pidana korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang terjadi pada 2004. Kasus ini sehubungan dengan pemenuhan kewajiban aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Selain Dorodjatun, Senior Advisor Nura Kapital, Mohammad Syahrial yang juga dijadikan saksi tidak memenuhi panggilan karena sedang berada di luar negeri. Penjadwalan ulang pemanggilan akan dilakukan minggu depan.
Sementara itu ada dua saksi yang telah diperiksa KPK pada hari ini, yakni pengacara AZP Legal Consultants, Ary Zulfikar, dan Direktur Utama PT Berau Coal Tbk Raden C Eko Santoso Budianto.
“Penyidik mendalami keterangan saksi terkait bagaimana mekanisme penyaluran BLBI, mekanisme pengembalian aset, serta hal-hal lain yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN,” ujar Febri.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua tersangka, yakni pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. Atas kasus ini, sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan pada 2017, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Kasus ini merupakan pengembangan atas perkara Syafruddin A Temenggung, mantan Kepala BPPN yang ditangani KPK sebelumnya. Kini Syafruddin telah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara oleh pengadilan tingkat banding karena dinilai terbukti bersalah melakukan korupsi dalam pemberian SKL untuk BDNI.
Belum terpenuhi
Febri menegaskan, ada satu hal yang perlu diperjelas dan dipahami agar publik tidak keliru ketika ada informasi dari pihak tertentu yang seolah mengklaim bahwa Sjamsul telah memenuhi kewajibannya. Klaim ini membuat seolah pemerintah tidak menghormati perjanjian atau kesepakatan yang pernah dibuat.
“Perlu dipahami bahwa perjanjian itu atau kesepakatan itu dihormati jika seluruh kewajiban sudah dipenuhi. Namun dalam kasus ini, terbukti sebaliknya,” kata Febri.
KPK menilai, aset yang digunakan Sjamsul untuk memenuhi kewajiban pembayarannya tergolong aset yang macet. Pembayaran kewajiban menggunakan aset senilai Rp 18,85 triliun, termasuk pinjaman kepada petani atau petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Aset ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah.
Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi atau memberikan pernyataan yang tidak benar.
Selanjutnya, pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
Pada tanggal 24 Mei 2007 PT PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp 220 miliar, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun. Dengan begitu, diduga kerugian keuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp 4,58 triliun.