Perempuan yang Membawa Anjing ke Masjid Jadi Tersangka, Kasusnya Picu Perdebatan
Polisi meningkatkan status SM, perempuan yang membawa anjing ke salah satu masjid di Bogor, Jawa Barat, sebagai tersangka. Organisasi masyarakat sipil menilai, ini merupakan bentuk dari rancunya definisi penghinaan agama dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi meningkatkan status SM, perempuan yang membawa anjing ke salah satu masjid di Bogor, Jawa Barat, sebagai tersangka. Organisasi masyarakat sipil menilai, ini merupakan bentuk dari rancunya definisi penghinaan agama dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP.
Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Hafidz, Selasa (2/7/2019), di Jakarta mengatakan, delik penghinaan agama yang berlaku dalam KUHP saat ini mengandung multitafsir. Dia merujuk pada insiden yang menimpa SM.
SM, sebagaimana yang dijelaskan oleh Kepala Kepolisian Resor Bogor Ajun Komisaris Besar AM Dicky Pastika Gading, dikenai Pasal 156a KUHP yang mengatur tentang penodaan terhadap suatu agama. Jika terbukti, ancaman pasal ini akan membuat SM dipenjara maksimal 5 tahun.
Saat ini, kata Dicky, SM masih diperiksa kondisi kejiwaannya di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Ini untuk membuktikan keterangan keluarga yang menyatakan bahwa SM memiliki riwayat gangguan jiwa.
Menurut Hafidz, kasus yang menimpa SM memicu banyak perdebatan. Ini disebabkan oleh delik penghinaan agama yang terdapat di dalam KUHP. Dalam konteks penghinaan agama, kata dia, yang dilindungi adalah institusi agamanya. Institusi agama bersifat multitafsir.
”Ketika tempat suci agama tradisional yang ada di hutan dirusak oleh aktivitas tambang ataupun korporasi, apakah juga dianggap sebagai penghinaan agama?” katanya.
Menurut dia, delik penghinaan agama lebih baik diganti dengan intoleransi atau siar kebencian. Itu karena frasa ini bersifat melindungi individu, bukan agama yang, menurut dia, tidak bisa menjadi subyek hukum.
Dia menilai, perdebatan ini tidak pernah dibahas secara serius oleh pemerintah dan DPR dalam pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP). Sementara pada saat bersamaan, pemerintah dan DPR akan menyelesaikan RKUHP pada pertengahan Juli ini. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR yang berlangsung pada Agustus atau September akan mengesahkan RKUHP itu.
Oleh sebab itu, lanjut Hafidz, HRWG yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan meminta pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP. Pemerintah diminta membuka uji publik terlebih dulu sebelum mengesahkan RKUHP itu.
Program Manager Wahid Foundation Alamsyah menyarankan agar Pasal 156a KUHP dimoratorium atau dihentikan penggunaannya. Menurut dia, peran dari Pasal 156a itu sudah terangkum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang di dalamnya mengatur tentang ujaran kebencian.