Politik Biaya Tinggi Picu Parpol Ingin Ganti Lagi Sistem Pemilu
Wacana pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup kembali mengemuka. Maraknya praktik politik uang dan biaya yang tinggi membuat politisi mempertimbangkan untuk meninggalkan sistem proporsional terbuka.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah politisi mulai mempertimbangkan untuk kembali memberlakukan sistem proporsional tertutup dalam pemilihan legislatif. Akan tetapi, sistem proporsional tertutup harus diimbangi dengan transparansi dari partai politik agar konstituen punya informasi yang cukup terhadap calon anggota legislatif.
Pemilihan legislatif di Indonesia sejak 2009 menggunakan sistem proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka masih dianut dalam Pemilu Legislatif 2019, sebagaimana tercantum dalam Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam sistem proporsional terbuka, setiap calon anggota legislatif (caleg) peraih suara terbanyak dan memenuhi syarat akan terpilih walau berada di nomor urut berapa pun. Sistem tersebut membuka peluang pertarungan suara tidak hanya melibatkan calon antarpartai, tetapi juga calon di dalam satu partai yang sama.
Adapun sistem proporsional tertutup mensyaratkan akumulasi suara partai dalam satu daerah pemilihan, lalu dibagi angka minimal untuk memperoleh satu kursi. Akumulasi kursi yang diperoleh akan dibagi berdasarkan nomor urut caleg yang ditentukan partai politik.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, Selasa (2/7/2019), menyampaikan, pihaknya mempertimbangkan secara serius kemungkinan perubahan pemilu legislatif dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup.
Menurut Arsul, sejak sistem proporsional terbuka diterapkan, praktik politik uang marak dan makin tidak terkendali. Kondisi itu, lanjutnya, terjadi pada Pemilu Legislatif 2019.
Pertarungan caleg tidak hanya terjadi antarpartai, tapi juga antarcaleg internal partai. Oleh sebab itu, Arsul berpendapat, sudah saatnya Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup dengan mekanisme tertentu.
”Namun, jika perubahan sistem ini akan diadopsi, perlu mekanisme perekrutan caleg yang jelas diatur dalam udang-undang sehingga tidak terjadi oligarki pimpinan partai dalam pencalegan,” kata Arsul di Jakarta.
Jika perubahan sistem ini akan diadopsi, perlu mekanisme perekrutan caleg yang jelas diatur dalam udang-undang sehingga tidak terjadi oligarki pimpinan partai dalam pencalegan.
Hal senada diutarakan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Eva Kusuma Sundari. Menurut dia, sistem proporsional terbuka menyebabkan biaya politik menjadi sangat tinggi. Hal itu karena caleg terlibat ”tarung bebas” dan bahkan saling menjegal sesama caleg antarpartai.
Selain itu, caleg juga berpeluang besar membeli suara konstituen. Hal ini menimbulkan praktik pendidikan politik yang tidak sehat.
Eva menuturkan, demi mendongkrak suara, partai terpaksa merekrut figur publik dan orang-orang bermodal kuat sebagai caleg. Situasi ini menyebabkan banyak caleg yang maju pemilu legislatif tanpa memahami ideologi partai. Caleg-caleg yang diusung partai pun lebih mengedepankan popularitas tanpa memiliki gagasan yang matang untuk dijual kepada konstituen.
”Kalau dulu kami bisa fokus menjaga kualitas, di mana representasi buruh, perempuan, dan aktivis terwakilkan. Sistem terbuka ini membuat partai mendapat tekanan besar untuk mendapat suara dan akhirnya mencari orang-orang kuat,” kata Eva.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, baik sistem proporsional tertutup maupun terbuka memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pun demikian, Andre lebih memilih sistem proporsional terbuka dibandingkan tertutup.
Alasannya, untuk menghindari hanya orang-orang yang dekat dengan petinggi partai yang duduk di parlemen. Sistem proporsional terbuka, kata Andre, juga mencegah suara konstituen menjadi milik caleg yang tidak berkompeten.
”Rakyat kini semakin cerdas, budaya politik uang semakin tidak laku. Politik uang itu yang efektif hanya 30 persen. Sistem proporsional terbuka masih yang terbaik untuk saat ini,” ucap Andre.
Transparan
Direktur eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya berpendapat, sistem proporsional tertutup positif untuk menguatkan peran partai atau sistem kepartaian. Namun, harus ada syarat bahwa pencalonan penyusunan daftar caleg di partai dilakukan secara transparan dan harus melalui seleksi ketat di internal partai serta bisa dipertanggungjawabkan kepada konstituen.
”Kalau tidak, ini akan berbahaya karena kita melegalisasi kartel dan oligarki partai,” katanya.
Menurut Yunarto, menerapkan sistem proporsional tertutup dalam waktu dekat berisiko di kala kepercayaan publik terhadap kinerja parpol masih rendah. Oleh karena itu, ia berpendapat, jika ada pergantian sistem, harus ada proses peralihan yang dilalui.
Proses peralihan itu dapat dimulai dengan sistem semi-terbuka, dalam artian tetap ada nama-nama caleg yang dicantumkan, tetapi kemudian penentuan caleg yang lolos ke parlemen menggunakan mekanisme nomor urut, bukan peraih suara terbanyak.
”Setelah itu, kemudian ketika partai sudah mendapat kepercayaan publik yang lebih tinggi, baru kita bisa masuk ke sistem proporsional tertutup. Kalau tidak, hanya karena alasan biaya tinggi, kita menyerahkan kekuasaan legislatif kepada oligarki partai,” ujar Yunarto.