JAKARTA, KOMPAS – Peraturan Menteri Kesehatan No.1010 Tahun 2008, yang bertujuan meningkatkan investasi industri farmasi, gagal memberikan dampak setelah dikeluarkan selama satu dekade. Investasi di industri farmasi Indonesia bahkan cenderung menurun.
Permenkes No.1010/2018 tentang Registrasi Obat mewajibkan perusahaan farmasi asing berinvestasi di dalam negeri setelah impor selama lima tahun. Perusahaan asing harus memproduksi dan mendapatkan persetujuan obat di Indonesia.
Dalam diskusi forum grup tentang investasi industri farmasi, Selasa (2/7/2019), di Jakarta, Indef menilai peraturan itu justru menghambat investasi. Hasil itu berdasarkan riset data investasi industri farmasi yang dikumpulkan dari 2003-2018 melalui data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Permenkes No.1010/2018 tentang Registrasi Obat mewajibkan perusahaan farmasi asing berinvestasi di dalam negeri setelah impor selama lima tahun.
Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengatakan, kehadiran investasi asing semakin tidak terasa setelah Permenkes dikeluarkan. Salah satu indikasinya adalah menajamnya defisit neraca perdagangan dalam industri farmasi. Indonesia saat ini mengimpor lebih dari 90 persen bahan baku, 70 persen di antaranya berasal dari China.
Data BKPM menyebutkan, kesenjangan defisit neraca perdagangan industri farmasi melonjak. Pada 2014, defisit hanya Rp 2,7 triliun. Sementara itu, tahun lalu, defisit mencapai Rp 6,2 triliun. Investasi langsung bidang farmasi pada 2018 pun menurun 8,8 persen.
“Pada 2003-2008 pertumbuhannya cukup tinggi. Setelah 2008 pertumbuhan landai. Setelah Permenkes keluar, perusahaan seperti melihat-lihat pada 2009-2011. Kemudian puncaknya di 2012-2013. Kemudian tidak naik lagi,” ucap Marty.
Perusahaan asing, menurut Marty, seperti menunggu pada lima tahun setelah Permenkes. Mereka melihat pasar di Indonesia untuk memastikan membangun pabrik. Namun, lebih banyak yang memutuskan menarik diri.
Direktur Perencanaan Jasa dan Kawasan BKPM Nurul Ichwan menjelaskan, Permenkes bertujuan untuk memberikan kontribusi positif terhadap investasi. Namun, hal itu terkendala oleh kepentingan pihak investor.
“Kita harus melihat tujuan mereka. Apakah mereka berinvestasi untuk menjadikan kita tempat produksinya atau tujuan utamanya hanya menyasar pasar Indonesia yang sangat luas,” sebut Ichwan yang juga hadir dalam diskusi tersebut.
Kewajiban memproduksi di dalam negeri, kata Ichwan, membuat investor dilema. Sebab, rata-rata investor telah memproduksi di Vietnam. Sangat kecil kemungkinan investor mau membuat dua tempat produksi yang wilayahnya berdekatan.
Kewajiban memproduksi di dalam negeri membuat investor dilema. Sebab, rata-rata investor telah memproduksi di Vietnam.
Kendati demikian, BKPM melihat persoalan regulasi bukan kontribusi tunggal penurunan investasi. “Bukan hanya faktor regulasi. Misalnya infrastruktur kita memang tidak terlalu bagus. Kita tidak seperti Thailand yang memiliki kawasan industri terintegrasi. Pastinya di sana akan lebih murah logistiknya. Yang membuat biaya produksi murah,” tambah Ichwan.
Untuk itu, Ichwan meminta pemerintah mengkaji ulang Permenkes tersebut. Pemerintah harus mendalami persoalan utama investasi yang menurun sebelum merevisi ataupun tetap menggunakan regulasi saat ini.
Direktur Produksi dan Distribusi Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Agusdini Banun Saptaningsih, mengucapkan, pihaknya tetap ingin mempertahankan regulasi tersebut. Sebab regulasi itu bertujuan menjamin kualitas obat.
Menurut Dini, penurunan investasi yang tercatat oleh BKPM berbeda dengan milik Kemenkes. “Sebenarnya dari pengurusan sertifikat distribusi, kita bisa tahu investasi seperti perluasan pabrik dan bangun laboratorium. Itu belum dilaporkan ke BKPM. Nilainya mencapai Rp 54 triliun investasi untuk industri farmasi,” pungkasnya.