JAKARTA, KOMPAS—Imbauan pemerintah pusat kepada daerah untuk membangun sekolah-sekolah negeri baru di wilayah yang belum memiliki sekolah negeri dinilai tak menyelesaikan masalah pendidikan. Pemerataan mutu sekolah dan kerja sama pemerintah dengan swasta semestinya digalakkan guna menjamin setiap anak akan mendapat pendidikan yang baik.
"Salah satu permasalahan besar dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah orangtua bersikeras memasukkan anak ke sekolah negeri. Hal ini tidak salah juga karena selain gratis, sekolah negeri memiliki nama dan lebih diperhatikan pemerintah sehingga mutu pendidikannya dinilai lebih baik dibandingkan sekolah swasta umumnya," kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji di Jakarta, Senin (1/7/2019).
Salah satu permasalahan besar dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah orangtua bersikeras memasukkan anak ke sekolah negeri.
Di daerah-daerah yang menerapkan sistem PPDB berbasis radius, yakni jarak rumah ke sekolah, seperti di Depok (Jawa Barat) dan Tangerang Selatan (Banten), orangtua mengeluhkan anaknya tidak bisa masuk ke sekolah negeri. Meskipun masih dalam cakupan zona sekolah negeri yang diincar, jarak sekolah ke rumah umumnya melebihi 2 kiloneter sehingga kesempatan anak diterima di sekolah itu lebih kecil dibandingkan mereka yang rumahnya dekat dari sekolah.
Didik Suhardi, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendididikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang merangkap Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengungkapkan ketika dihubungi pekan lalu bahwa pihaknya mengimbau pemerintah daerah agar membangun sekolah negeri di wilayah yang belum memilikinya. Biaya pembangunan akan dibantu oleh Kemdikbud selama pemda menyediakan lahan.
Ubaid mengkritisi cara ini karena berisiko menyedot anggaran dan sumber daya yang besar. Terlebih, proses mencari lahan, membebaskannya, dan mencari guru membutuhkan waktu tidak sebentar. Solusi yang diusulkan adalah mempererat kerja sama negeri dan swasta karena sekolah apapun statusnya wajib untuk melayani masyarakat.
Sekolah swasta adalah potensi yang belum tergarap baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sekolah swasta sudah memiliki gedung, guru, dan sarana pendidikan mendasar. Langkah pertama ialah memastikan semua sekolah memiliki mutu pendidikan setara dengan pembenahan fasilitas sekolah dan pelatihan guru berkesinambungan.
"Langkah kedua ialah memasukkan sekolah swasta, madrasah, dan pesantren ke dalam sistem PPDB. Apabila orangtua cemas membayar biaya di sekolah swasta bisa diterapkan subsidi silang dan bantuan operasional sekolah dari pemda. Dapat pula diberi insentif lain seperti keringanan pajak," tuturnya.
Ada pula solusi yang berpotensi untuk dicoba, yaitu menegerikan sekolah swasta. Menurut Ubaid, JPPI yang terdiri dari berbagai lembaga penelitian dan pengembangan pendidikan melihat metode ini mulai diterapkan di Vietnam. Pemerintah mengambil alih sekolah-sekolah swasta kecil yang kesulitan memenuhi standar nasional pendidikan. Setelah alih status guru-guru pegawai negeri sipil bisa dirotasi ke sekolah tersebut yang letaknya dekat permukiman.
Tambah kelas
Di Indramayu, Jawa Barat, para siswa SDN 02 Sukasari sempat kesulitan diterima di SMP negeri karena jarak sekolahnya cukup jauh. Solusi dari pemda ialah memasukkan semua siswa SD itu ke SMPN 1 Lohbener dengan cara menambah lagi satu kelas, walaupun secara kuota PPDB sudah terpenuhi.
Kepala Seksi Kurikulum SMP Dinas Pendidikan Indramayu Pendi Susanto menjelaskan, keputusan itu diambil karena SMPN 1 Lohbener masih memiliki ruang kelas dan bangku yang cukup untuk menampun anak-anak lulusan SDN 02 Sukasari. Rasio guru dengan siswa juga masih dalam batas ideal, yaitu di bawah 36 orang per kelas.
"Orangtua menolak memasukkan anak mereka ke sekolah swasta. Saat ini dilakukan pemerataan mutu pendidikan, tapi mungkin akan dikaji jika perlu membangun SMP negeri satu lagi," ucapnya. Pemda ingin menyosialisasikan pemerataan mutu karena sesuai Peraturan Mendikbud 51/2018 tentang PPDB, mulai tahun ajaran 2020/2021 sekolah swasta akan ikut ke dalam sistem PPDB.
Sementara di Tangerang Selatan, SMA-SMA memberi diskresi bagi siswa yang rumahnya jauh dari sekolah negeri. Pengawas SMA Tangsel Imam Supingi menjelaskan, sekolah menampung semua berkas PPDB. Kuota untuk zonasi adalah 90 persen yang kemudian dibagi lagi.
Sebanyak 85 persen diperuntukkan bagi anak-anak berumah dekat dari sekolah.
"Sisa 5 persen dari kuota zonasi diperuntukkan bagi anak-anak yang masih dari dalam zona sekolah, tapi rumahnya jauh. Komputer menyeleksi dengan mengurutkan nilai Ujian Nasional," ujarnya. Adapun kuota 10 persen di itu adalah untuk anak berprestasi dan yang datang dari luar zona.