Memasuki masa panen, harga garam di tingkat petani di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menyentuh Rp 300 per kilogram. Tanpa intervensi pemerintah, harga tersebut bisa terus turun karena stok produksi tahun lalu masih melimpah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Memasuki masa panen, harga garam di tingkat petani di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menyentuh Rp 300 per kilogram. Tanpa intervensi pemerintah, harga tersebut bisa terus turun karena stok produksi tahun lalu masih melimpah, sementara panen raya belum berlangsung.
”Empat hari lalu, harga garam di tingkat petani masih Rp 500 per kg, sekarang sudah Rp 300 per kg. Padahal, ini baru awal panen. Nanti, harga masih jatuh saat panen raya, pertengahan Juli dan Agustus, karena produksi banyak,” ujar Jafar (40), petani garam asal Losari, Rabu (3/7/2019), di Cirebon.
Padahal, ketika awal masa panen garam pertengahan tahun lalu, harga garam di tingkat petani lebih dari Rp 1.000 per kg. Lalu, awal tahun ini harganya turun menjadi Rp 800 per kg. Harapan petani untuk menikmati harga tinggi saat awal panen pun tak terwujud.
”Modal menggarap lahan saya belum kembali karena harga garam rendah. Kalau tidak dijual, bagaimana menyambung hidup. Sekarang, banyak petani yang tidak menggarap lagi karena harga jelek,” ucap Jafar yang menghabiskan lebih dari Rp 15 juta untuk menggarap lahan seluas 3 hektar. Meskipun sudah menjual murah, belum semua hasil panennya terserap pasar. Dari produksi 160 ton, masih tersisa sekitar 30 ton garam.
Kondisi serupa tampak di gudang garam milik petani di Kecamatan Mundu dan Pangenan. Garam petani yang terbungkus di dalam karung biru menumpuk di gudang beralaskan terpal dengan dinding bambu yang bolong di beberapa bagian. Bahkan, garam yang menumpuk di pinggir jalan raya hanya dilapisi terpal. Tidak tampak aktivitas bongkar muat garam yang biasa terjadi ketika masa panen tiba.
Melimpahnya produksi garam dinilai menjadi salah satu penyebab anjloknya harga garam. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon mencatat, hingga Juni, masih terdapat 35.666 ton garam petani produksi 2018 yang menumpuk di gudang. Tahun lalu, produksi garam di Cirebon mencapai 424.617 ton, atau meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 350.000 ton.
Sementara menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia Jabar Mohammad Taufik, masih ada 55.000 ton garam rakyat di Cirebon, Indramayu, dan Karawang yang belum terserap. Jumlah tersebut merupakan hasil panen tahun lalu. ”Sedikitnya 10 persen dari jumlah itu pasti menyusut. Petani lagi yang dirugikan,” ujarnya.
Anomali
Belum optimalnya penyerapan garam rakyat sementara harga garam anjlok, menurut Taufik, menunjukkan anomali dalam tata niaga pergaraman. Ia menduga, impor garam yang mencapai 3,7 juta ton tahun lalu berlebih. ”Bahkan, impor diberikan untuk industri ikan asin yang seharusnya bisa memakai garam rakyat,” ujarnya.
Taufik mendorong pemerintah agar mengawasi perusahaan importir garam untuk memastikan tidak ada garam industri yang merembes ke pasar konsumsi. Garam industri memiliki kadar natrium klorida (NaCl) di atas 94 persen, sedangkan garam konsumsi di bawah itu. ”Garam konsumsi dapat diolah kembali menjadi garam industri, tetapi biayanya mahal,” ujarnya.
Di sisi lain, garam belum dilindungi dengan harga pokok pembelian yang dapat menjaga harga garam petani tidak anjlok. Padahal, pemerintah telah berkomitmen melindungi petambak garam sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Garam belum dilindungi dengan harga pokok pembelian yang dapat menjaga harga garam petani tidak anjlok.
Kepala Bidang Pemberdayaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Yanto mengatakan, rendahnya kualitas garam di Cirebon membuat hasil panen petani tidak terserap optimal dan harganya rendah. ”Dari produksi 424.617 ton garam tahun lalu, hanya 20 persen yang memiliki kualitas bagus,” ujarnya.
Rendahnya kualitas garam itu dipicu lahan petani yang masih berupa tanah, tidak dilapisi terpal. Kondisi ini membuat garam bercampur tanah sehingga kualitasnya menurun. Pada saat yang sama, petani ingin segera panen. Waktu untuk memanen garam yang seharusnya lebih dari satu minggu dipangkas hanya tiga hari.
”Petani ingin mendapatkan hasil panen segera. Apalagi, kebanyakan petani masih berkejaran dengan jatuh tempo penyewaan lahan. Selama ini, kami sudah memberikan pelatihan membuat garam berkualitas kepada petani,” tuturnya.