Jumlah Koalisi Bukan Jaminan
Pemerintahan yang efektif tidak hanya ditentukan oleh jumlah kursi parlemen yang dimiliki parpol pendukung. Dukungan rakyat saat pemilu juga mesti diubah menjadi dukungan politik.
JAKARTA, KOMPAS— Efektivitas pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh besar-kecilnya dukungan dari koalisi partai politik di parlemen atau pemerintahan. Hal lain, seperti disiplin parpol anggota koalisi dalam menjalankan visi pemerintahan dan dukungan politik dari masyarakat, juga menentukan.
Praktik politik di Indonesia menunjukkan, pemerintah dengan dukungan kekuatan minoritas di parlemen sering kali memang tak leluasa bergerak.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Jakarta, Selasa (2/7/2019), menuturkan, awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan dirinya tak bisa berjalan efektif karena didukung oleh koalisi parpol yang hanya menguasai 41 persen kursi DPR. Pada awal masa jabatannya, parlemen disibukkan dengan polemik pembagian kekuasaan karena koalisi parpol non-pemerintah menolak berbagi kursi pimpinan alat kelengkapan DPR dengan koalisi parpol pemerintah. Sebelum polemik itu diselesaikan, sebagian menteri dari parpol pendukung pemerintah sempat memutuskan tidak menghadiri undangan rapat kerja di DPR.
Guna mengatasi kondisi ini, Jokowi-Kalla lalu menerima parpol lain untuk bergabung. ”Supaya di atas 50 persen (di DPR), kami masukkan PAN (Partai Amanat Nasional), Golkar, PPP (Partai Persatuan Pembangunan),” kata Kalla.
Minimnya dukungan di parlemen tak akan terjadi pada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024. Pasalnya, koalisi parpol pendukung pasangan itu sudah memiliki sekitar 61 persen kursi DPR. ”Artinya, pemerintahan ini sebenarnya sudah cukup aman di DPR,” kata Kalla.
Namun, dukungan yang besar di parlemen juga tak menjamin pemerintahan efektif. Awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menjadi contoh. Meski didukung koalisi parpol dengan sekitar 75 persen kursi DPR, periode awal pemerintahan itu sempat disibukkan oleh aktivitas Panitia Khusus (Pansus) Angket Bank Century yang dibentuk DPR. Pembentukan pansus itu turut didukung sejumlah parpol anggota koalisi Yudhoyono-Boediono.
Bergabung
Dengan melihat sejumlah pengalaman yang ada, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar melihat, Jokowi-Amin sudah cukup dengan dukungan dari koalisi parpol yang memiliki 61 persen kursi DPR. ”Sebetulnya 61 persen itu cukup, malah kegemukan,” ujarnya.
Namun, lanjut Muhaimin, PKB tidak ada masalah jika ada parpol eks pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada pemilu lalu yang bergabung dengan koalisi Jokowi-Amin.
Bergabungnya parpol eks anggota koalisi yang kalah pada pemilu presiden ke koalisi parpol pemenang sudah terjadi dalam dua periode pemerintahan Yudhoyono (2004-2014), dan periode pertama pemerintahan Jokowi.
Saat ini, dari empat parpol bekas pendukung Prabowo- Sandi yang mendapatkan kursi DPR, baru Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyatakan akan menjadi oposisi pemerintahan Jokowi-Amin. Tiga parpol lainnya, yaitu Partai Demokrat, PAN, dan Partai Gerindra, hingga kini belum secara gamblang menentukan arah politiknya untuk lima tahun mendatang.
Dalam waktu dekat, Jokowi akan mengumpulkan ketua umum parpol pendukungnya guna membahas kebutuhan menambah anggota koalisi dari partai eks pendukung Prabowo-Sandi. Opsi yang kini berkembang adalah membatasi jumlah partai yang masuk atau sama sekali tidak menambah anggota koalisi Jokowi-Amin.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengingatkan, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum memperbesar koalisi Jokowi-Amin. Pertimbangan itu, antara lain, memperhatikan situasi di internal koalisi itu.
”Jangan sampai ada ketidakpuasan kalau partai yang datang belakangan mendapat portofolio kabinet yang bagus. Apalagi, di koalisi, kami juga belum tahu, apakah semua partai yang kini jadi anggota koalisi akan mendapat portofolio kabinet atau tidak,” katanya.
”Saat kampanye pemilu saling menjatuhkan. Ketika sudah menang, berbondong-bondong mau bergabung di kabinet. Ini jadi semacam politik stand up comedy,” kata Sekjen Nasdem Johnny G Plate.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, ”rekonsiliasi” antara kubu Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi tidak perlu dimaknai sebagai pembagian kursi menteri di kabinet. ”Keputusan terakhir memang di tangan presiden dan ketua umum partai. Namun, saya pribadi berpendapat bahwa koalisi yang sehat seharusnya dibangun sebelum pemilu. Mereka yang ada di luar pemerintah tetap diperlukan untuk sehatnya demokrasi,” tuturnya.
Dukungan rakyat
J Kristiadi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menuturkan, kenyamanan di antara partai anggota koalisi mesti diperhatikan saat menentukan untuk menerima parpol lain guna menjadi anggota koalisi. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan terkait kesamaan ideologi. ”Pandangan masyarakat pemilih juga mesti diperhatikan,” katanya.
Airlangga Pribadi Kusman, pengajar di Universitas Airlangga, Surabaya, menambahkan, pertimbangan utama yang dibutuhkan dalam menyusun kabinet seharusnya menemukan orang yang diyakini mampu menjalankan program pemerintah. ”Jadi, masalah utamanya bukan merangkul partai bekas pendukung pasangan Prabowo-Sandi atau tidak. Namun, mencari orang yang paling cocok dan paling mampu menjalankan program-program pemerintah,” ujar Airlangga.
Menurut Airlangga, koalisi parpol bukan penentu utama efektivitas pemerintahan. Bahkan, pemerintahan bisa tak efektif jika terjebak atau didikte oleh koalisi parpol.
Guna menghindari jebakan dari koalisi parpol dalam menyusun kabinet atau menjalankan pemerintahan, Jokowi perlu lebih intensif mengubah dukungan masyarakat saat pemilu lalu menjadi dukungan politik.
”Jika tidak optimal mengubah dukungan rakyat pada pemilu sebagai dukungan politik, pemerintah dapat terjebak dalam permainan elite parpol. Hal ini, misalnya terjadi saat kasus Bank Century,” kata Airlangga.
Untuk mendapatkan dukungan politik dari rakyat, lanjut Airlangga, presiden dan wakil presiden terpilih, antara lain, perlu mendengar suara dari kelompok masyarakat, seperti tokoh masyarakat dan intelektual, dalam persoalan seperti menyusun kabinet. Dengan demikian, masalah itu tidak hanya menjadi urusan parpol dan elite politik. (NTA/AGE/NWO)