Perlu disediakan ruang-ruang interaksi untuk memunculkan kebudayaan yang inklusif. Kebudayaan inklusif tersebut tidak hanya dibentuk agar masyarakat saling menghargai, tetapi juga berani berinteraksi satu sama lain.
Oleh
Fajar Ramadhan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebudayaan menjadi salah satu pintu masuk dalam melawan sikap-sikap intoleransi di Indonesia. Melalui praksis kebudayaan yang inklusif, masyarakat lintas budaya tidak hanya bisa saling menghargai, tetapi juga berinteraksi.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, banyak jalan yang bisa dilalui untuk melawan intoleransi. Salah satu yang belum banyak disadari adalah melawannya lewat jalan kebudayaan.
”Energi kreatif dan kekayaan budaya yang kita miliki bisa menjadi jalan dalam melawan tindakan intoleransi,” ujarnya dalam Forum Gelora Kebangsaan di Jakarta, Rabu (3/7/2019).
Hilmar menambahkan, perlu disediakan ruang-ruang interaksi untuk memunculkan kebudayaan yang inklusif. Kebudayaan inklusif tersebut tidak hanya dibentuk agar masyarakat saling menghargai, tetapi juga berani berinteraksi satu sama lain.
”Kalau sekadar menghargai perbedaan, artinya satu sama lain tidak perlu bertemu. Kalau inklusif, berarti ada interaksi di dalamnya,” katanya.
Contoh konkretnya bisa dilihat melalui sebuah sanggar. Di sana, anak suku Jawa bisa menarikan tari Bali dan anak suku Sulawesi bisa menyanyikan lagu Batak. Menurut Hilmar, kebudayaan dan intoleransi bagaikan dua kubu yang beroposisi. Saat kebudayaan lemah, secara otomatis intoleransi akan tumbuh.
Hilmar mengatakan, energi kreatif dalam kebudayaan juga bisa melawan radikalisme. Saat ini ada 72 persen masyarakat Indonesia yang menolak bentuk-bentuk tindakan radikalisme dan terorisme. Artinya, masih ada 28 persen masyarakat yang belum melihatnya sebagai masalah bangsa.
Selama ini, perlawanan terhadap radikalisme sudah ditempuh melalui dua jalan, yakni melalui keamanan atau politik dan ekonomi. Kedua jalan tersebut hingga saat ini belum cukup efektif mengingat kemunculan kelompok-kelompok radikal terus bermunculan.
”Ketertarikan terhadap radikalisme dan terorisme banyak dipicu oleh kesenjangan ekonomi. Alhasil, penguatan ekonomi menjadi salah satu jalan tempuh,” katanya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengingatkan, saat ini Indonesia menjalani peradaban baru. Mobilisasi massa saat ini dapat dengan mudah dilakukan hanya melalui tagar-tagar di media sosial. Hal ini menjadi tugas berat karena kebudayaan Indonesia harus tetap dipertahankan.
”Kita akan menyaksikan beragam mobilisasi dengan teknologi yang dapat mengubah kehidupan,” ucapnya.
Dikelola optimal
Menurut Hilmar, sudah saatnya kebudayaan Indonesia dikelola secara optimal khususnya berkaitan dengan produk-produk ekonomi kreatif. Terlebih, 8 persen hingga 9 persen dari total perekonomian dunia basisnya adalah ekonomi yang berbasis kebudayaan dan kreativitas.
”Jika diberi waktu lima tahun, saya yakin akan mampu mengejar sektor ekonomi ekstraktif seperti tambang,” ujarnya.