Kemajuan Desa Meningkat, Kesenjangan Tetap
Jika indikator Indeks Pembangunan Desa dijadikan ukuran, capaian peningkatan pembangunan desa berlangsung signifikan lima tahun terakhir. Kategori “Desa Mandiri” menjadi semakin banyak, dan “Desa Tertinggal” menyusut. Namun, jarak kesenjangan antardesa relatif belum terpangkas.
Badan Pusat Statistik (BPS) pertengahan Mei 2019 lalu memublikasikan kembali Indeks Pembangunan Desa (IPD), sebuah indeks yang mencoba memotret realitas capaian pembangunan desa di seluruh negeri ini. Indeks tersebut dibangun dari 42 indikator yang menggambarkan ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan pada masyarakat desa.
Dari seluruh indikator yang digunakan terkelompokkan dalam lima dimensi pengukuran, yaitu: Pelayanan Dasar, Infrastruktur, Aksesibilitas Transportasi, Pelayanan Umum, dan Penyelenggaraan Pemerintahan. Menurut BPS, data penyusun tiap indikator diperoleh dari hasil pencacahan Potensi Desa 2018.
Hasilnya, IPD tahun 2018 mencapai 59,36. Posisi tersebut menunjukkan desa-desa di Indonesia berada dalam kategori tengah, lebih tepatnya desa berkembang. Jika dibandingkan dengan indeks yang sama tahun 2014 lalu, nilai indeks kali ini menunjukkan peningkatan. Saat itu, skor IPD 2014 mencapai 55,71. Artinya, dalam kurun hampir lima tahun sudah terjadi peningkatan hingga 3,65 atau rata-rata 0,9 poin setiap tahunnya.
Dalam setiap dimensi yang diukur, terjadi peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi pada aspek Penyelenggaraan Pemerintahan, yang meningkat 9,81 poin. Sementara, capaian peningkatan terendah terjadi pada dimensi Pelayanan Dasar sebesar 0,92 poin (Grafik 1).
Mencermati perubahan indeks tersebut, memang beberapa aspek layanan masih menjadi persoalan umum. Pelayanan Dasar yang mencakup ketersediaan sarana dan akses pada pendidikan dan kesehatan tersebut tidak terlalu tinggi peningkatannya di hampir setiap kabupaten, provinsi, hingga setiap gugus kawasan. Fasilitas-fasilitas fisik setiap desa berikut segenap akses yang menunjang peningkatan kesehatan dan pendidikan tampaknya menjadi persoalan umum yang terjadi pada hampir sebagian besar wilayah.
Akan tetapi, sisi positif yang tergambarkan dari indeks ini justru terkait dengan semakin meningkatnya kualitas desa. Secara kualitas, hasil indeks tersebut menggambarkan kondisi sebagian besar dari 73.670 desa yang dikaji masuk dalam kategori “Desa Berkembang”. Jika diproporsikan, tidak kurang dari 74,5 persen dari seluruh desa masuk dalam kategori demikian.
Kategori desa berkembang relatif berada pada posisi tengah, lantaran terdapat pula kategori “Desa Tertinggal” yang menunjukkan posisi terbawah indeks. Saat ini, tidak kurang sebanyak 13.232 desa (17,9 persen) masuk kategori desa tertinggal. Sebaliknya, terdapat sebanyak 5.559 desa masuk dalam kategori “Desa Mandiri” yang merujuk pada posisi atas capaian pembangunan desa.
Kualitas klasifikasi desa pada indeks dinyatakan meningkat, terutama jika diperbandingkan dengan capaian 2014 lalu. Saat itu, masih terdapat sebanyak 69,26 persen “Desa Berkembang”. Bahkan, “Desa Tertinggal” masih sebanyak 26,8 persen. Dengan demikian, tampak jelas kurun lima tahun terakhir peningkatan kualitas pembangunan berlangsung. Dalam indeks ditunjukkan bahwa desa tertinggal di negeri ini berkurang sebanyak 6.518 desa. Sebaliknya, desa mandiri bertambah 2.665 desa. (Grafik 2).
Dengan segenap catatan peningkatan tersebut, tidak ada alasan untuk menampik kemajuan yang belangsung dalam lima tahun terakhir. Desa sebagai bagian terkecil pemerintahan yang kini menjadi pusat pembangunan mulai beranjak menjadi semakin berkembang hingga menuju pada kemandirian.
Begitu pula dalam kaca mata politik, tidak ada alasan untuk menampik adanya keberhasilan yang ditorehkan kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam memajukan desa melalui berbagai inisiatif pembangunan. Berbagai upaya yang dilakukan dalam pendistribusian Dana Desa, misalnya, dinilai berdampak positif bagi peningkatan inisiatif masyarakat desa dalam membangun. Langkah kebijakan tersebut paralel dengan peningkatan pembangunan desa sebagaimana yang terangkum dalam indeks.
Akan tetapi, di balik kemajuan yang tercipta menarik juga dicermati selanjutnya apakah peningkatan capaian indeks dengan sendirinya mengikis pula jarak perbedaan masing-masing desa di antara tiap-tiap provinsi ataupun kawasan di negeri ini?
Jika ukuran semacam ini digunakan, hasil perkembangan indeks desa kurang menyiratkan informasi yang menguatkan semakin menipisnya kesenjangan. Pasalnya, peningkatan indeks desa terjadi dengan besaran yang hampir merata pada setiap wilayah. Baik wilayah-wilayah yang terkategorikan berindeks rendah ataupun yang tergolong tinggi sama-sama mencatatkan peningkatan dengan besaran yang cenderung proporsional. Akibatnya, jarak senjang di antara tiap wilayah tidak banyak beranjak sebagaimana kondisi sebelumnya.
Dengan mengambil kawasan pulau sebagai basis pengukuran peningkatan indeks pembangunan desa, jarak kesenjangan indeks tetap terjaga. Desa-desa di Pulau Jawa dan Bali menjadi kawasan dengan nilai Indeks Pembangunan Desa tertinggi (67,8). Pada sisi lain, desa-desa di Papua menjadi kawasan dengan nilai indeks terendah (35,6). Dengan kondisi demikian, jarak senjang di antara kedua kawasan tersebut, sebesar 32,25.
Dalam kurun lima tahun terakhir, kedua kawasan tersebut bertumbuh. Rata-rata, desa-desa di Jawa dan Bali meningkat hingga 2,79. Begitu pula, peningkatan terjadi di desa-desa kawasan Papua (3,52). Namun, peningkatan yang terjadi pada setiap kawasan tidak tampak drastis, dalam kisaran yang tidak terpaut jauh (Grafik 3).
Akibatnya, jarak senjang setiap kawasan relatif tidak banyak berubah. Dalam kurun lima tahun terakhir, indeks desa-desa di kawasan Pulau Jawa-Bali dengan desa-desa di kawasan Papua, ataupun dengan desa-desa di berbagai kawasan pulau lainnya tetap terpaut hingga 32 point.
Gambaran besaran jarak senjang antar desa yang tidak menyempit ini menjadi semakin kontras jika diperbandingkan antara desa-desa pada level kabupaten. Hasil indeks menunjukkan bahwa desa-desa di Denpasar, Bali, dan Bantul, DI Yogyakarta, memiliki indeks tertinggi dari seluruh wilayah kabupaten dan kota yang dikaji.
Besaran indeks di Denpasar, misalnya, mencapai 80,26 yang menggambarkan hampir 90 persen desa di wilayah tersebut tergolong sebagai “Desa Mandiri”. Di Bantul, indeks desa sebesar 76,13 dimana sebanyak 57 persen desa di wilayah ini tergolong “Desa Mandiri”. Baik Bantul dan Denpasar tidak dijumpai desa dengan kategori “Desa Tertinggal”.
Hasil indeks juga menunjukkan, kabupaten-kabupaten di Papua menjadi yang terendah. Kabupaten Tolikara dan Nduga, misalnya, menjadi dua kabupaten terbawah dalam skor indeks. Indeks pembangunan desa di Kabupaten Tolikara sebesar 26,10. Sedikit lebih besar, di Kabupaten Nduga, sebesar 26,94.
Gambaran kondisi pada desa-desa di kabupaten dengan besaran indeks tertinggi dan kabupaten dengan indeks terendah tersebut menunjukkan jarak yang sangat senjang. Selisih di antara Denpasar dengan Tolikara, misalnya, hingga mencapai sekitar 54,16.
Jarak senjang di antara kedua kabupaten tersebut akan menjadi semakin ironis jika dilihat dari laju perubahan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada tahun 2014, indeks desa di Tolikara mencapai 20,35 dan di Denpasar mencapai 76,48. Dengan kondisi demikian, maka selisih perbedaan antara Denpasar dan Tolikara mencapai 56,13. Jika merujuk capaian kedua wilayah itu saat ini maka dapat disimpulkan sepanjang lima tahun terakhir jarak perbedaan desa-desa di antara kedua wilayah tidak terlalu signifikan mengecil (Grafik 4).
Dengan peningkatan capaian indeks sebesar itu, tampaknya masih sangat sulit bagi wilayah-wilayah berindeks relatif rendah untuk mengejar ketertinggalannya. Sebagai gambaran, bagi desa-desa di Tolihara dengan kondisi kemajuan saat ini, dimana terjadi peningkatan rata-rata indeks per tahunnya sebesar 1,4 point, maka diperkirakan akan dibutuhkan sekitar 40 tahun lagi untuk menyamai kondisi desa-desa di Denpasar.
Begitu pula bagi desa-desa di Nduga, mengejar kondisi yang serupa di wilayah Bantul saat ini, diperlukan sekitar 27 tahun lagi. Dengan perhitungan sederhana semacam ini, tampaknya diperlukan upaya yang jauh lebih serius lagi dalam memacu pembangunan desa-desa di seluruh negeri hingga mampu mengikis jurang kesenjangan (Bersambung). (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).