Penguatan Pendidikan Karakter Membutuhkan Ruang Dialog
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Upaya membuka ruang dialog mengenai keragaman penduduk bangsa Indonesia belum banyak diterapkan sebagai bagian dari Penguatan Pendidikan Karakter. Padahal, melalui berbagai ruang pertemuan ini siswa dan perangkat sekolah bisa melihat langsung kekayaan budaya yang menjadi pemersatu bangsa.
Fakta tersebut terungkap dalam diskusi "Pendidikan Karakter dan Kebinekaan" di Jakarta, Selasa (2/7/2019). "Semua pihak menggaungkan pendidikan karakter. Akan tetapi, fenomena yang terjadi malah masyarakat berubah semakin eksklusif. Keragaman diakui, tetapi tidak menjadi sesuatu yang dihargai, apalagi menyatukan bangsa," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno.
Sejauh ini ada kekeliruan atau kesalahan komunikasi dalam melaksanakan sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Diskusi diharapkan bisa mengurai permasalahan dan mengadvokasikan praktik baik yang merupakan inisiatif masyarakat.
Pakar PPK Doni Koesoema menjelaskan, di dalam Perpres tersebut sudah menyarikan gagasan Ki Hadjar Dewantoro mengenai penghargaan terhadap kemajemukan bangsa. Di saat yang sama, juga mengajak keaktifan tripusat pendidikan berupa guru dan tenaga kependidikan, orangtua, dan masyarakat sekitar untuk aktif terlibat.
"Permasalahan utama dalam PPK adalah penafsirannya hanya sebatas kepada persoalan keagamaan. Hal ini karena aspek agama dinilai sebagai yang paling mudah dalam menilai karakter siswa," ujarnya.
Permasalahan utama dalam PPK adalah penafsirannya hanya sebatas kepada persoalan keagamaan.
Sekolah-sekolah memaknai PPK dengan mengadakan ritual keagamaan bagi setiap agama yang dianut siswa. Misalnya, ketika siswa muslim menjalankan ibadah salat, siswa agama lain di saat yang sama menjalankan ibadah masing-masing pada ruangan yang telah disediakan. "Bukannya mempersatukan, malah semakin mengotak-kotakkan siswa," katanya.
Semestinya, selain pelaksanaan ibadah juga ada ruang diskusi bagi para siswa untuk membicarakan berbagau agama yang ada dan membahasnya secara kritis. Tujuannya bukan untuk mencari pembenaran, tetapi agar saling memahami dan menghormati. Untuk menghilangkan prasangka negatif terhadap individu-individu berbeda.
Dalam penerapannya, sekolah harus berjejaring dengan berbagai pihak seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, sanggar seni, budayawan, komunitas olahraga, hingga aparat penegak hukum. Namun, sebelum itu dilakukan, kepala sekolah, guru, dan pengawas harus disiapkan agar kompetensi untuk bisa memilah pihak yang memang layak untuk bermitra dengan sekolah dan tidak mengusung ideologi anti Pancasila.
Demokratis
Ketua Yayasan Cahaya Guru (YCG) Henny Supolo Sitepu mengatakan, dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jelas diamanatkan pada pasal 4 bahwa pendidikan harus demokratis, menjunjung hak asasi manusia, dan menghargai keragaman. Aspek ini sering terlewat pada pelaksanaan pendidikan, baik oleh guru, pengawas, maupun pemerintah daerah.
Kondisi itu mengakibatkan muncul aturan-aturan daerah maupun sekolah yang tidak peka, baik terhadap keragaman latar belakang ekonomi, agama dan kepercayaan, maupun suku bangsa.
"Berdasarkan pengalaman YCG berdialog dengan guru, umumnya mereka tidak berniat membuat aturan yang diskriminatif. Guru sendiri tidak memahami bahwa aturan tersebut represif kepada pihak lain karena mereka jarang, bahkan nyaris tidak pernah terpapar pada kemajemukan di masyarakat. Faktor geografis dan masyarakat yang homogen kerap membuat guru tidak menyadari cara yang tepat ketika pertama kali bertemu perbedaan," ucapnya.
Dalam diskusi tersebut juga ditampilkan berbagai praktik baik PPK inisiatif sekolah ataupun guru secara individual. Di SDN Rawajati 6 Jakarta, misalnya, guru kelas I Nurlela mengadakan permainan dan lagu yang mengajarkan siswa keanekaragaman bangsa. Modalnya adalah kalender-kalender bekas sebagai sumber gambar-gambar baju tradisional, rumah adat, dan rumah ibadah berbagai agama.
Sementara di Pangandaran, Jawa Barat, Yayasan Bakti Karya Parigi membuat SMK multimedia dengan sistem dana dari para penyumbang. Mereka memiliki kuota 150 siswa yang setengahnya berasal dari 18 provinsi di Indonesia dan diberi beasiswa.
"Pertama kalinya warga setempat bertemu dengan siswa-siswa dari Indonesia tengah dan timur dan anak-anak yang berbeda agama dengan mereka. Baru warga menyadari bahwa anak-anak itu sama saja dengan mereka dan mengikis prasangka yang sebelumnya berkembang di masyarakat," tutur Ketua Yayasan Bakti Karya Parigi, Ai Nurhidayat.