Perubahan Iklim Meningkatkan Intensitas Suhu Ekstrem
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Perubahan iklim telah meningkatkan intensitas dan frekuensi suhu ektrem seperti yang saat ini melanda Eropa dan Asia Selatan. Fenomena ini bakal terjadi tiap tahun jika suhu global meningkat hingga 2 derajat celsius.
Laporan dari Lembaga Meteorologi Dunia (World Meteorologi Organization/WMO) pada Selasa (2/7/2019) mencatat, suhu panas melanda wilayah Eropa. Misalnya, suhu di Gallargues-le-Montueux, sebuah kota di Prancis selatan, mencapai 45,9 derajat celsius, merupakan rekor suhu tertinggi sepanjang sejarah negeri ini. Suhu panas, di atas rata-rata klimatisnya juga dilaporkan terjadi di Spanyol, Austria, dan sejumlah negara lain.
“Suhu maksimum sepanjang masa di Prancis adalah 44,1 derajat celsius yang terjadi pada Agustus 2003. Kondisi saat ini benar-benar buruk,” kata Karsten Haustein, ilmuwan iklim dari Universitas Oxford, mewakili konsorsium ilmuwan World Weather Attribution Network, seperti dilaporkan Science News.
Suhu maksimum sepanjang masa di Prancis adalah 44,1 derajat celsius yang terjadi pada Agustus 2003. Kondisi saat ini benar-benar buruk.
Eropa bukan satu-satunya bagian dunia yang mengalami tingkat panas ekstrem. India dan Pakistan telah menderita gelombang panas sejak pertengahan Mei. Pada bulan Juni, suhu di New Delhi melonjak hingga 48 derajat celsius, merupakan suhu tertinggi yang pernah dicatat untuk bulan itu di sana. Pada 21 Juni, sedikitnya 180 orang dilaporkan meninggal terkait gelombang panas ini.
Sebelumnya, menurut Karsten, gelombang panas yang mematikan pernah melanda Eropa pada musim panas 2003, ketika suhu melonjak hingga 44,1 derajat celsius di kota Conqueyrac, Prancis selatan. Panas ekstrem saat itu menewaskan lebih dari 70.000 orang di seluruh benua. Gelombang panas juga terjadi di Eropa pada tahun 2018 selama tiga bulan.
Sementara gelombang panas sebelumnya melanda India pada tahun 2016. Gelombang panas saat itu mencapai 51 derajat celsius dan memecahkan tekor di negara bagian barat Rajasthan.
Karsten menyebutkan, gelombang panas di permukaan ini dipicu aliran udara hangat di atmosfer. “Dari pantauan kami, pada tanggal 27 Juni suhu atmosfer di atas Eropa, sekitar 1,5 kilometer di atas permukaan bumi mencapai rekor 25,5 derajat celsius. Selama 10 hari terakhir, ada kecenderungan aliran atmosfer jauh dari selatan, sekitar Afrika dan membawa udara panas hingga ke atas Eropa. Ini di luar kewajaran dan diduga terkait pemanasan es di Kutub Utara,” ujarnya.
Menurut kajian konsorsium ilmuwan ini, semakin sering dan ekstremnya suhu, merupakan dampak dari perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia. Peristiwa itu bakal terjadi setiap tahun jika suhu global naik hingga 2 derajat Celcius di atas tingkat subu era pra-industri. Namun, jika pemanasan global terbatas pada 1,5 derajat celsius, peristiwa seperti itu diperkirakan bakal terjadi setiap dua dari tiga tahun.
Padahal, kajian terpisah oleh Thorsten Mauritsen dari Stockholm University yang diterbitkan di jurnal Nature pada 1 Juli 2019 menujukkan, berdasarkan emisi karbon saat ini dan tren pembangunan pembangkit listrik batu bara, peningkatan suhu sebesar 1,5 derajat celcius diperkirakan akan terjadi pada tahun 2033. Sejauh ini aktivitas manusia telah meningkatkan suhu global sebesar 1 derajat celsius dibandingkan tahun 1900-an.
Suhu dingin
Secara terpisah, Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto memaparkan, suhu ekstrem selalu memiliki dua sisi, yaitu ekstrem panas dan dingin, yang saling berkaitan. “Seiring dengan tren peningkatan suhu global yang sekarang kasat mata adalah semakin sering rentetan gelombang panas terjadi,” katanya.
Terkait suhu dingin yang saat ini melanda wilayah Indonesia, terutama kawasan dataran tinggi seperti di Dieng, Jawa Tengah sejauh ini lebih dipengaruhi oleh pola musimnya. Laju penurunan suhu pada umumnya akan bertambah 0,65 derajat celsius setiap naik 100 meter. Oleh karena itu, sejumlah daerah di ketinggian, seperti dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah yang berketinggian 2093 meter akan mencapai 4,5 derajat celsius.
“Saat ini memang suhu di Dieng cukup ekstrem. Pantauan kami beberapa hari lalu, embun es menutupi lahan pertanian menjadikannya seperti tutupan salju. Pada pagi hari suhu bisa mencapai minus lima derajat celcius ,” kata Siswanto.
Namun kondisi saat ini kemungkinan masih sama mengikuti pola musim kemarau yang disebabkan oleh penjalaran angin monsun Australia yang membawa massa udara kering dan dingin. “Mungkin besaran fluktuasi suhu dingin dan minusnya yang bervariasi. Masalahnya, kita tidak punya data pantauan suhu Dieng dalam jangka waktu lama sehingga belum bisa dibandingkan. Kami baru saja memasang AWS (Automatic Weather Station) untuk menjawab tren perubahan suhu di Dieng ini,” ujarnya.
Menurut Siswanto, pengamatan suhu di Tretes, Jawa Timur, terpantau lebih dingin tiga derajat celcius di bandingkan rata-rata tahunannya. Kondisi ini merupakan yang terdingin ke-3 dalam 37 tahun terakhir. Namun demikian, beberapa daerah di dataran rendah dan dekat perkotaan suhu dingin tidak lebih rendah dari rata-ratanya.
Suhu dingin di Dieng berpeluang semakin ekstrem di bulan Agustus. “Rekaman warga, tebal es di bulan Juni-Juli ini belum seberapa. Lebih tebal nanti di bulan Agustus, seperti tahun-tahun lalu,” ungkapnya.