Rawat Hutan Adat, Masyarakat Rantau Kermas Raih Kalpataru
Kelompok Pengelola Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi, meraih Kalpataru untuk Kategori Penyelamat Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kelompok Pengelola Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi, meraih Kalpataru untuk Kategori Penyelamat Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penghargaan akan diserahkan Presiden RI pada Pembukaan Peringatan Hari Lingkungan Hidup, 11 Juli mendatang.
Kepala Desa Rantau Kermas Hasan Apede menyatakan rasa haru dan bangga setelah mengetahui isi surat keputusan Menteri LHK tentang Penerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2019. ”Nilai-nilai adat kami terapkan selama turun-temurun demi menghindari bencana, ternyata kini berbuah penghargaan. Ini menjadi penyemangat kami untuk terus menjaga hutan adat,” kata Hasan Apede, Kepala Desa Rantau Kermas, Rabu (3/7/2019).
Hutan adat yang dikelola bersama-sama selama lebih dari 10 abad awalnya demi tujuan sederhana, yakni mengantisipasi ancaman longsor menjaga asupan air sungai yang membelah desa mereka. Kesetiaan merawat alam akhirnya membawa masyarakat yang tinggal di tengah rimba Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu mendapatkan penghargaan Kalpataru.
Selain Rantau Kermas, penghargaan untuk penyelamat lingkungan juga akan diberikan kepada Kelompok Masyarakat Dayak Iban Menua Sungai Utik di Kalimantan Barat dan Kelompok Nelayan Prapat Agung Mengening Patasari di Bali.
Pemandangan eksotik
Rantau Kermas adalah bagian dari wilayah adat Serampas di Kabupaten Merangin, Jambi. Jauh sebelum wilayahnya ditetapkan sebagai TNKS, desa-desa itu merupakan jalur utama distribusi hasil bumi menuju pantai barat Sumatera. Secara geografis, desa yang berada di ketinggian 900-1.800 meter dari permukaan laut itu memiliki bentang alam perbukitan dan pegunungan serta lembah. Sejumlah anak sungai ikut memberikan pemandangan eksotik.
Desa itu dikelilingi sejumlah gunung dan memiliki danau indah. Keindahan itu sebanding dengan tingginya ancaman bencana jika saja masyarakat lalai merawat lingkungan. Topografi yang curam di wilayah itu mewajibkan masyarakat menjaga hutan dengan arif.
Menurut Hasan, tata kelola lahan disesuaikan dengan kontur dan kondisi alam, areal persawahan di daerah lembah dan perbukitan yang tidak curam. Wilayah yang curam serta wilayah hulu air ditetapkan sebagai daerah terlarang untuk alih fungsi.
Awalnya perlindungan kawasan hutan ini hanya disepakati secara lisan. Baru tahun 2000, ada penetapan hutan adat secara resmi lewat peraturan desa. Selanjutnya, tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Merangin mengesahkan pula hak kelola hutan adat tersebut seluas 130 hektar.
Pengakuan hutan adat dari Bupati Merangin diikuti keluarnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2016 tentang penetapan Hutan Adat Marga Serampas Rantau Kermas. ”Pengakuan para pihak atas hutan adat ini merupakan bentuk penghargaan kepada masyarakat yang mengelola hutannya dengan baik di tengah ancaman terhadap kawasan hutan yang semakin tinggi,” kata Rudi Syaf, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang sejak 1996 mendampingi masyarakat setempat.
Dalam buku berjudul Orang Serampas, peneliti Universitas Jambi, Bambang Hariyadi, melihat upaya masyarakat melindungi sumber daya air lewat penetapan hutan adat. Hutan itu memiliki peran strategis melindungi lahan-lahan kritis yang rawan erosi dan longsor serta menjaga keragaman hayati.
”Hasil pengamatan vegetasi di lapangan menunjukkan hutan adat memiliki indeks keanekaragaman hayati tumbuhan setara dengan indeks pada hutan alam (old growth forest),” ujar Hariyadi.