Labora Sitorus adalah polisi berpangkat aiptu yang memiliki rekening ”gendut” Rp 1,5 triliun. Terpidana kasus penyelundupan BBM, kayu, dan pencucian uang ini dengan mudah meninggalkan lapas selama setahun. Wartawan Kompas, Fabio Maria Lopes Costa, secara langsung mengikuti proses penangkapan Labora selama 20 hari di Sorong, Papua Barat.
Oleh
FABIO COSTA
·5 menit baca
Labora Sitorus adalah polisi berpangkat aiptu yang memiliki rekening ”gendut” Rp 1,5 triliun. Terpidana kasus penyelundupan BBM, kayu, dan pencucian uang ini dengan mudah meninggalkan lembaga pemasyarakatan selama setahun. Wartawan Kompas, Fabio Maria Lopes Costa, secara langsung mengikuti proses penangkapan Labora selama 20 hari di Sorong, Papua Barat.
Labora bukanlah anggota polisi biasa. Meskipun hanya berpangkat ajun inspektur satu (aiptu) di Polres Raja Ampat, pria ini memiliki rekening ”gendut” sebesar Rp 1,5 triliun. Pengadilan Negeri Sorong memvonis Labora pada 17 Februari 2014 dengan pidana 2 tahun penjara dan denda sebesar Rp 50 juta.
Labora pun tak terima dengan vonis tersebut dan mengajukan banding atas vonisnya ke Pengadilan Tinggi Papua karena merasa tak bersalah. Namun, vonisnya malah ditambah menjadi 8 tahun penjara pada 2 Mei 2014. Ia pun melanjutkan dengan mengajukan kasasi atas putusan ini ke Mahkamah Agung. Artidjo Alkostar selaku hakim ketua dalam perkara Labora kembali menambah vonis penjara menjadi 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 5 miliar.
Meskipun telah mendapatkan putusan inkracht dari Mahkamah Agung, Labora belum juga menjalani penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kota Sorong. Saya mendengar informasi belum ditahannya Labora sampai berbulan-bulan setelah inkracht, tepatnya pada pertengahan Januari 2015.
Saya pun mulai menulis berita tentang Labora dengan mewawancarai pihak Kejaksaan Tinggi Papua dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua Barat. Dari keterangan Agus Soekono, Kepala Kanwil Kemenkumham Papua Barat saat itu, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sorong di bawah kepemimpinan Samaluddin Bogra telah menerbitkan surat keputusan pembebasan Labora. Agus pun menyatakan surat itu tidak valid. Berita ini terbit di halaman 4 harian Kompas pada 21 Januari 2015.
Meski sudah ada ekspose dari media massa, Labora tetap belum juga dibawa oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Sorong untuk menjalani penahanan di lapas. Labora menikmati kebebasannya dengan tenang di rumahnya yang sekaligus menjadi lokasi perusahaannya, PT Rotua, di kawasan Tampa Garam, Kelurahan Rufei, Distrik Sorong Barat.
Saya kemudian kembali menulis kasus ini dengan mewawancarai Kepala Polda Papua Barat saat itu, Brigjen (Pol) Paulus Waterpauw, dan pihak lapas pada Senin, 1 Februari 2015. Berita ini menempati halaman utama koran Kompas keesokan harinya.
Menuju Sorong
Selasa (2/2/2015), saya berangkat dari Jayapura menuju Kota Sorong untuk meliput penyebab Labora belum ditahan selama berbulan-bulan pasca-putusan kasasi dari Mahkamah Agung. Kepala Desk Nusantara Harian Kompas Tri Agung Kristanto menitipkan pesan singkat kepada saya setelah tiba di Sorong.
Ia meminta saya mendapatkan wawancara langsung dengan Labora terkait sikapnya yang tidak mau menjalani penahanan dan apakah ada pihak tertentu yang membantunya sehingga bisa dengan mudah meninggalkan Lapas Sorong.
Labora bak Robin Hood di mata warga, pahlawan yang membantu si lemah. Dari hasil wawancara dengan sejumlah warga, mereka mengaku sering mendapatkan bantuan uang hingga pekerjaan dari Labora.
Sambil menulis berita online untuk Kompas Siang dan harian Kompas, saya terus mencari cara untuk bertemu Labora. Sejumlah teman wartawan di Sorong menginformasikan, warga setempat di Tampa Garam akan melindungi Labora dengan cara apa pun.
Labora bak Robin Hood di mata warga, pahlawan yang membantu si lemah. Dari hasil wawancara dengan sejumlah warga, mereka mengaku sering mendapatkan bantuan uang hingga pekerjaan dari Labora. Dengan kondisi ini, potensi konflik antara warga dan aparat penegak hukum begitu besar.
Pada 2-4 Februari 2015, berkali-kali saya mendatangi rumah Labora dan meminta izin kepada sejumlah penjaga bertampang seram untuk menemui Labora. Namun, mereka tak mengizinkan. Saya tak putus asa dan terus mendatangi rumah Labora dari pagi hingga sore. Saya menunggu selama enam jam, pukul 11.00-17.00 WIT, di depan pintu gerbang rumahnya yang setinggi 4 meter.
Lewat upaya pendekatan seorang teman wartawan media lokal di Kota Sorong, Labora akhirnya mau memberikan keterangan terkait sejumlah pemberitaan tentang dirinya. Selama satu jam, laki-laki kelahiran Banjarmasin, 3 November 1961, itu menuturkan sejumlah alasan di balik keberadaannya di luar jeruji besi selama 12 bulan terakhir.
Labora mengakui, dirinya bisa keluar dari lapas tanpa hambatan karena bermodalkan surat bebas hukum. Menurut dia, Lapas Sorong mau mengeluarkan surat tersebut karena masa penahanan dirinya oleh pihak Kejari Sorong di lapas telah habis. Labora mengatakan menjadi tumbal sejumlah pihak terkait kasus yang menjeratnya.
Dijemput paksa
Harian Kompas menjadi media cetak pertama yang berhasil mewawancarai Labora selama ia berada di luar Lapas Sorong. Setelah itu, banyak media nasional tiba di Sorong untuk meliput Labora. Selama dua pekan, saya fokus meliput upaya Kejari Sorong beserta aparat kepolisian setempat untuk membawa kembali Labora ke hotel prodeo.
Penulisan kasus ini menjadi sensitif mengingat kecintaan masyarakat Tampa Garam terhadap Labora. Ada isu beredar, mereka akan memburu wartawan yang memublikasi berita upaya penangkapan Labora. Kondisi ini mendorong saya lebih hati-hati dalam meliput kasus Labora.
Pada 9 Februari 2015, sekitar 300 orang yang dikoordinasi Fredy Fakdawer, pegawai Labora, menggelar aksi unjuk rasa di Distrik Sorong Barat. Mereka menuntut pembentukan tim independen untuk menyelidiki yang mereka sebut dugaan rekayasa kasus yang menjerat Labora. Aksi unjuk rasa berjalan aman di tengah pengawalan 100 personel kepolisian.
Pihak kepolisian bersama Kejari Sorong dan tokoh masyarakat kemudian mencoba cara persuasif agar Labora menyerahkan diri secara baik-baik. Tujuannya, untuk mencegah konflik antara simpatisan Labora dan aparat penegak hukum. Polisi memberikan batas waktu hingga 15 Februari 2015. Namun, Labora tetap menolak menyerahkan diri karena merasa tidak bersalah.
Pada 20 Februari 2015 sekitar pukul 06.00 WIT, Kejari Sorong yang dibantu 600 personel kepolisian berupaya menjemput paksa Labora di rumahnya di Tampa Garam. Saya ikut berada di depan pintu pagar rumah Labora untuk mengikuti proses itu.
Selama dua jam, upaya jemput paksa diwarnai kericuhan. Pekerja dan warga berusaha menghalangi dengan menggunakan alat berat ekskavator dan melempari aparat kepolisian dengan batu.
Salah satu polisi terluka di bagian telinga terkena lemparan. Saya terpaksa menjauh sekitar 3 meter dari rumah Labora agar tidak terkena lemparan batu.
Pada pukul 09.15 WIT, Labora berhasil dijemput paksa berkat upaya persuasif tim Komnas HAM yang dipimpin Otto Nur Abdullah. Saya bersama sejumlah rekan wartawan kemudian bergerak ke Lapas Sorong. Di sana, kami melihat Labora dengan senyum tipis melangkahkan kaki masuk ke dalam lapas.
Meliput berita tentang Labora merupakan salah satu tugas peliputan yang memakan waktu cukup lama selain kasus penyanderaan 300 warga di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, pada tahun 2017. Meski menguras waktu dan tenaga, saya senang bisa turut menjadi saksi upaya penegakan hukum agar sesuai dengan regulasi yang berlaku.