Anies Kunci Komitmen lewat Perda
Persoalan reklamasi acap kali mengundang polemik. Dalam wawancara khusus dengan Kompas, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji tetap menghentikan reklamasi dan akan menguncinya lewat perda.
Persoalan reklamasi acap kali mengundang polemik. Dalam wawancara khusus dengan Kompas, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji tetap menghentikan reklamasi dan akan menguncinya lewat perda.
Berikut petikan wawancara dengan Gubernur Anies, Rabu (3/7/2019), di Balai Kota DKI Jakarta.
Secara garis besar, sikap DKI tentang reklamasi seperti apa?
Jadi, kami sesuai rencana awal. Nomor satu, kegiatan pembuatan daratan dihentikan. Itulah reklamasi.
Dan dari awal kami sudah katakan bahwa lahan yang sudah terjadi, kami tidak pernah berencana untuk membongkar. Kami akan manfaatkan.
Karena tidak mungkin membongkar lahan?
Secara lingkungan hidup juga akan bermasalah. Lahan sebesar itu tanahnya mau dibuang ke mana? Yang kedua, juga ya secara cost tentu saja akan besar. Lalu, arena ini bisa digunakan oleh warga Jakarta, warga Indonesia yang lain.
Penghentian (reklamasi) itu soal keputusan hukum, bukan opini. Karena itu, kami cari celah hukumnya.
Pada 2009 ada Badan Koordinasi Pelaksana Reklamasi. Itu kami bentuk kembali tahun lalu. Saya ingat, ketika itu dibentuk agak ramai karena kami dianggap mau meneruskan reklamasi.
Badan itu memang bisa mengeluarkan izin. Tetapi juga, jangan lupa, dia bisa mencabut izin. Dan itu yang saya kerjakan. Bukan gubernur nyabut izin. Gubernur bikin badannya sehingga secara governance benar. Badan ini memanggil semua pemilik izin, lalu diaudit kewajibannya, misalnya, harus ada amdal dan bisa menjelaskan sumber tanahnya dari mana. Itu semua kewajibannya.
Yang tidak melaksanakan kewajiban, ya, dicabut izinnya. Jadi, ketika dicabut izinnya, mereka enggak bisa protes. Kami enggak bisa dituntut.
Karena proses sudah benar?
Satu, proses benar. Yang kedua, Anda tidak melaksanakan kewajiban Anda. Jadi, ketika (izin) 13 (pulau) itu dicabut, bukan karena selera, melainkan karena ini kewajiban yang Anda sepakati.
Umumnya syarat apa yang tidak dipenuhi?
Amdal. Ada yang belum mulai sama sekali.
Bapak mengatakan kegiatan reklamasi dihentikan, tetapi ada pengembang yang mengatakan akan melakukan pengembangan daratan. Bukankah itu bertentangan?
Nomor satu, (pulau) C itu berhenti, tuh. Baru sepertiga dan tidak diteruskan juga.
Justru yang menjadi tantangan kami, kalau dibiarkan seperti ini, akan terjadi abrasi. Makanya, nanti kami carikan jawabannya.
(Staf Anies menambahkan: rencananya akan public expose terkait rencana atas daratan yang sudah terbangun ini pada Agustus).
Jangan sampai juga (lahan yang sudah terbentuk) sekadar didiamkan. Sudah beberapa kali kapal kandas karena proses abrasi itu. Ini yang lebih teknis itu. Tapi bukan substansinya. Substansinya berhenti.
Lalu, jangan lupa, langkah yang kami lakukan, di RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) kami hilangkan (daratan reklamasi baru). Lalu, RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) kami ubah. RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) akan diubah. Maka, nanti peta Jakarta sudah tidak ada lagi 17 daratan di utara teluk.
Jadi, bukan mencabut izin. Ini menghilangkan kewajiban pemerintah untuk membangun. Kalau (rencana pulau) itu ada di RPJMD, kan, kami berkewajiban mengerjakan (membangun pulau reklamasi).
RPJMD itu perda yang mengharuskan kita membangun. RTRW juga begitu. Dengan itu dicabut, tidak ada lagi kegiatan penambahan lahan di utara Jakarta.
Soal Pulau G, kan, tidak termasuk yang dicabut izinnya. Sementara G sudah ada produk setengah jadi, istilahnya. Artinya, bisa menyelesaikan?
Nah, menyelesaikan itu nanti seperti apa kita tidak tahu. Kalau menurut saya, itu harus dipastikan tidak merugikan ekosistem di situ, termasuk ekosistem nelayan. Karena, ketika kita bicara suatu kawasan abrasi, kapal-kapal bermasalah. Itu, kan, kenyataan di lapangan. Nanti kita lihat. Saya, sih, lebih percayakan kepada orang-orang teknik untuk itu.
Lahan yang sudah ada bangunan itu jadi hak pengembang?
Reklamasi adalah program pemerintah yang dijalankan swasta. Swasta tidak dibayar pemerintah. Dibayar bentuknya hak pemanfaatan lahan, yang jika dihitung persentase yang bisa mereka manfaatkan kira-kira 35 persen. Nah, jadi mereka memanfaatkan lahan itu.
Kawasan itu nantinya harus diatur lagi. Sekarang, kan, masih mengandalkan PRK (panduan rancang kota) lewat pergub yang nantinya akan kami atur lewat revisi perda RDTR.
(Daratan) yang sudah telanjur jadi, apakah mereka jalankan sesuai ketentuan. Kalau sesuai ketentuan, dia tidak melanggar apa pun. Ternyata, yang mereka kerjakan itu semua sesuai ketentuan, kecuali satu hal, yakni tidak mengurus izin membangun (IMB). Itulah pelanggarannya, yang tahun lalu (7 Juni 2018) kami segel,
Disegelnya (bangunan di Pulau D) bukan karena melanggar aturan rancangan tata kota, melainkan karena tidak punya IMB. Namun, bangunannya sendiri mengikuti panduan rancang kota (PRK). Kalau melanggar (PRK), nah (bangunan) boleh dirobohkan.
Misalnya, di satu tempat hanya boleh dua lantai, terus dia bangun empat lantai, tidak mengurus IMB, ya, itu boleh dibongkar. Kan, biasa seperti itu. Orang yang membangun melanggar ketentuan tidak mengurus IMB karena IMB-nya tidak akan keluar. Kalau melanggar IMB, ya didenda.
Menurut saya, ada pemahaman kolektif di masyarakat yang perlu kita luruskan bahwa ketika ada kegiatan di sana (teluk Jakarta), itu adalah kegiatan pemanfaatan lahan, seperti juga di daratan yang lain.
Tapi (masyarakat menganggap) setiap ada kegiatan disebutnya reklamasi berlanjut. Loh, jadi, mau dijadikan ruang kosong tanpa penghuni sehingga memberikan kesan berhenti? Nah, kita harus pakai ketentuan peraturan.
Lalu ada satu lagi yang perlu diluruskan. Kami itu regulator di Jakarta, kecuali urusan reklamasi. Dalam urusan reklamasi, kami jadi pihak dalam sebuah perjanjian kerja sama. Yang ini, gimana ya, ya kenyataannya itu terjadi, suka tidak suka, sekarang itu ada namanya perjanjian kerja sama (PKS).
Kalau di tempat lain, kami itu regulator. Kalau sekarang, kami terikat di PKS. Kita tahu, PKS memiliki ikatan hukum bagi yang terikat seperti undang-undang.
Dan buat saya, yang bertugas bulan Oktober (2017), lihat sejarahnya enggak enak. Maksudnya, kami sudah punya rencana A, B, C, D, E, F, G. Terus sebelum kami mulai karena periode pilkada sampai pelantikan itu cukup panjang (sekitar 5 bulan, dari Mei 2017 hingga Oktober 2017), ternyata dalam periode panjang itu ada banyak hal yang terjadi.
Pada Agustus (2017) itu ada adendum PKS. Kemudian, tanggal 2 Oktober ada, tanggal 5 Oktober ada, tanggal 16 Oktober saya dilantik.
Termasuk Pergub Pulau G?
Pergub itu (berlaku 2 Oktober 2017) sebelum saya dilantik. Itu yang saya katakan, fondasi hukumnya itu tertata rapi. Jadi, kalau ditanya pelanggaran hari ini, pelanggarannya itu pada IMB-nya, lainnya punya tatanan.
Soal penyebutan pulau menjadi pantai. Mengapa pemprov kukuh bahwa hasil reklamasi disebut kawasan pantai?
Jadi, ini lagi-lagi soal penyebutan awam dan telanjur menjadi bahasa bersama.
Perda Nomor 8 Tahun 1995 (Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta) menyebutkan kawasan pantai utara Jakarta. Reklamasi pantai utara Jakarta. Itu perdanya begitu. Mengembalikan pada penamaan yang benar. Jadi bukan inovasi saya, ya.
Kenapa jadi misunderstanding? Karena penulisannya P.A, P.B, P.C, P.D.
P itu apa? Pantai. Cuma sama-sama P. Orang kita kalau ada P, itu pulau. Padahal ini pantai. Kawasan Mutiara itu hasil reklamasi, namanya Pantai Mutiara. Ancol hasil reklamasi, namanya Pantai Ancol. Indah Kapuk hasil reklamasi, namanya Pantai Indah Kapuk.
Lalu ada Permen (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai).
Ada UNCLOS 1082 Pasal 121. Pulau adalah daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air dan selalu di atas permukaan air pada saat pasang naik tertinggi. Jadi, kalau dia tidak terbentuk secara alami, dia tidak disebut sebagai pulau. Inilah yang menjadi dasar Kepulauan Indonesia. Karena itu, kalau ditanya kawasan ini pulaunya apa? Jawa. Daratannya ditambah, namanya juga reklamasi. Reklamasi itu proses penambahan daratan.
Soal kontribusi 15 persen dari nilai jual obyek pajak lahan reklamasi dari pengembang kepada Pemprov DKI yang pernah direncanakan masuk dalam dasar hukum. Adakah kelanjutannya?
Itu juga pertanyaan saya. Kenapa tidak dulu diatur oleh gubernur sebelumnya.
Jadi begini, ada pembahasan raperda (terkait reklamasi pantai Jakarta) tahun 2016. Pembahasannya alot.
Satu, mentok di urusan (kontribusi tambahan dari pengembang) 15 persen. DPRD minta 5 persen, Pak Gubernur minta 15 persen. Lalu ada penangkapan-penangkapan (terkait kasus korupsi). Lalu (pembahasan raperda) berhenti.
Sekarang strukturnya. Pengembang minta PRK lewat perda itu. Pemprov minta 15 persen. Kan, dua-duanya minta diakomodasi di situ. Mandek.
Gubernur mengeluarkan Pergub No 206/2016, mengisi kekosongan akibat perda ini tidak jalan. Kok yang diberi (dalam pergub) cuma PRK-nya saja? Kontribusi 15 persen tidak ada? Bukankah dulu ngotot 15 persen?
Menurut saya, itu harus dijelaskan kepada publik. Kenapa justru permintaan pengembang difasilitasi, permintaan pemprov tidak difasilitasi. Kenapa itu gagal. Apakah Anda serius tentang 15 persen atau tidak? Kalau serius, ya, diperjuangkan sampai tuntas. Iya dong, posisi tawarnya di situ, kok. Kok dikasih PRK-nya, kewajiban yang diikhtiarkan tidak dilaksanakan.
Lalu, ditanyakan ke gubernur sekarang. Kalau gubernur sekarang, PRK-nya tidak dikeluarkan juga, misal waktu itu. Tidak fair kalau ditanyakan kepada (gubernur) yang sekarang.
Jadi, rencana ke depannya?
Begini, saya ini tidak lagi dagang. Saya berkali-kali mengatakan, saya bukan pedagang yang mau bertransaksi. Saya ini melaksanakan undang-undang, aturan. Karena itu, pertanyaan saya, kenapa tidak 12 persen? Kenapa tidak 17 persen? 22 persen? Karena negara itu bergerak pakai aturan, bukan selera saya ingin berapa persen.
Dan, konsep kami bukan memberikan satu wilayah kepada pengembang. Mau bayar 100 persen pun, saya tidak akan melepaskan tempat ini jadi kawasan yang mereka pegang.
Ini kawasan kami, bukan kawasan Anda. Ini kawasan milik DKI. Kalau yang konsep sebelumnya adalah ini kawasan mereka, lalu mereka bayar ke kita. Tidak. Ini kawasan kami, yang akan kami kelola, yang akan kami atur. Jadi, saya tidak mentransaksikan lahan ini. Kawasannya kami buka, pengelolaannya oleh pemprov.
Kontribusi 15 persen itu dibayar sekali di awal. Lalu daerah ini menjadi wilayah mereka, diatur selama tiga puluh tahun, kalau tidak salah. Dengan 15 persen, kemudian pegang seluruh wilayah? No, no, no.
Ini Ibu Kota, ini pusat perekonomian. Terus ada sebuah wilayah yang tidak di dalam kontrol negara. Private security, private beach, private port di depan Jakarta. Unacceptable.
Langsung dipelintir, kan, negara kehilangan potensi (pendapatan). Di sisi lain, kita akan kehilangan kawasan yang tidak dalam kontrol kita lagi. Dengan hanya 15 persen, kontrol ada di mereka. Kedaulatan kita tidak ada di situ. Jadi, Anda mau terima rupiah dengan kedaulatan dilepas, atau kedaulatan di tangan kita dan tanpa jual beli persentase. Pilihannya begitu.
Konkretnya kedaulatan, terkait ruang publik di kompleks perumahan di sana, bagaimana?
Jalan itu harus diserahkan kepada pemprov. Taman diserahkan kepada pemprov. Jadi, bukan taman untuk kawasan itu saja.
Kalau bayar 15 persen buat semuanya di sana, mohon maaf. Artinya, itu fasos fasumnya private, di dalam sebuah enklave betulan. Bagaimana rasanya kita punya enklave hanya dengan 15 persen, enak betul.
Dan 15 persen oleh pengembang dikasihkan kepada siapa? Pembeli. Kalau dari kacamata pembeli, ”Oh gapapa. Private betulan ini. Kita bayar tambah, tetapi dapat fully private. I will do it. Komplet itu.”
Kita nanti akan ketemu sebuah tempat yang anak-anak akan bilang, oh begini ya yang Bapak kerjain dulu ya. Jadi tempat tertutup yang kita tidak bisa masuk. Kita tidak punya kedaulatan di situ. Ini menjelaskannya tidak gampang. (PUT/ART)