Derita Dewi Sri, Dipaksa Menahan Dahaga
Di Jawa Barat, padi identik dengan Dewi Sri, sang pembawa kesuburan. Namun, saat kemarau seperti sekarang, sang dewi yang menjadi sumber makanan jutaan manusia ini dipaksa kembali menahan dahaga.
Di Cirebon, misalnya, batang padi tak lagi hijau. Coklat kemerahan tanda kehausan. Bulirnya coklat hampa. Tanah tempatnya berpijak kini retak tak beraturan. Tidak sedikit malai yang layu.
”Mumet (pusing) lihat sawah. Semakin hari semakin merah,” kata Suhadi (53), petani Desa Lebak Mekar, Kecamatan Greged, Cirebon, Jawa Barat. Padahal, sekitar 20 hari lagi padi itu seharusnya bisa dipanen. Namun, jangankan panen, istilah padi menguning kini terasa asing.
Sebagian besar dari 1,75 hektar sawah garapannya puso atau gagal panen akibat kekeringan. ”Tersisa seperempat saja. Kalau tujuh hari ke depan tak ada air, semua gagal total,” ujar Suhadi yang menyewa lahan itu Rp 11 juta per tahun.
Saluran irigasi yang memisahkan rumahnya dengan lahan sawah telah lama kering, menyisakan sampah plastik dan dedaunan. Harapan meraup 7 ton gabah kering giling saat panen, sirna sudah.
Padahal, tidak hanya menyambung hidup, hasil sawah juga dapat merekatkan hubungan sosial. Hasil panen musim rendeng (Oktober-Maret), misalnya, ia bagikan kepada keluarga dan tetangga. Petani juga kerap menyumbang beras saat ada hajatan.
Karena itu, Suhadi banting tulang demi padinya. Bapak tiga anak ini menyewa mesin pompa untuk mengalirkan air ke sawahnya dengan biaya lebih dari Rp 1 juta. Namun, sumber air yang berjarak kurang dari 1 kilometer juga menipis. Petani dari desa tetangga berlomba menyedot air dengan pompa. Kubangan air hujan di bekas galian C di Kecamatan Astanajapura pun jadi sasaran.
Bahkan, untuk pertama kalinya, Suhadi membeli air satu truk tangki berisi 8.500 liter seharga Rp 350.000. ”Hanya cukup mengairi sawah 6 meter x 6 meter. Selain mahal, mobilnya sudah enggak mau kirim karena jalannya susah ke sini,” ujarnya. Modal tanamnya kini membengkak menjadi Rp 20 juta. Padahal, biasanya ia menghabiskan Rp 15 juta untuk pengolahan hingga panen. Kekeringan kali ini paling parah setelah 2015.
Muhamad Syakuro (40), petani lain, memilih menyiapkan ”sekoci” karena pesimistis bisa panen di tengah kekeringan. Sebagian besar dari 3.500 meter persegi sawahnya sudah tampak coklat kemerahan. ”Sekarang, saya kerja di bangunan dengan upah Rp 50.000 per hari,” ujar bapak tiga anak dan satu cucu ini.
Petani pernah mencoba beralih komoditas dari padi ke kacang tanah saat kemarau. Namun, selain pemasaran yang sulit, tanaman kacang juga dinilai ribet karena harus dikupas lagi. Padahal, harga kacang yang dikupas bisa mencapai Rp 15.000 per kilogram, sedangkan gabah kering giling paling tinggi Rp 6.000 per kg.
”Bertaruh” lagi
Petani di Kabupaten Subang, lumbung pangan nasional lainnya, juga terpaksa ”bertaruh” dengan cuaca tak menentu. Sembari berharap hujan turun, petani terus mencari air. Seperti siang itu, Selasa (2/7), gemuruh pompa air di Sungai Cilamaya memecah keheningan lahan sawah di Desa Tanjungrasa, Kecamatan Patokbeusi. Tarkim (72), petani setempat, menanti berjam-jam agar air mengalir.
Alih-alih air, justru lumpur yang tersedot. Sedikitnya, dibutuhkan Rp 70.000 untuk menjalankan mesin itu setiap hari. Santa (64), petani Desa Tanjungrasa Kidul, Patokbeusi, bahkan sampai menginap di sawah. ”Saya berjaga supaya air tidak diserobot,” ujarnya.
Berbagai upaya itu hanya sepotong kecil perjuangan petani saat kemarau. Dinas Pertanian Subang mencatat, potensi kekeringan 2.600 hektar. Adapun target panen musim ini 93.891 hektar. Hingga kini, 20 mesin pompa disebar di Kecamatan Compreng, Cipunagara, Pauaran, Cikaum, Patokbeusi, dan Binong. Dinas Pertanian Cirebon mencatat, areal yang terdampak kekeringan mencapai 846 hektar dan 4.459 hektar lainnya terancam kekeringan.
Dengan luas lahan baku 930.334 hektar tahun lalu,Jabar menjadi provinsi ketiga terbesar untuk areal persawahan setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Produksinya lebih dari 9,3 juta ton padi per tahun atau setara lebih dari 5 juta ton beras. Kekeringan di Jabar berarti ancaman bagi produksi pangan nasional.
Upaya menyelamatkan
”Dewi Sri” harus segera dilakukan, apalagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi kemarau di Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan berlangsung hingga Oktober.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Cirebon Kuryadi berharap, antisipasi kekeringan dilakukan pemerintah lintas sektoral. Ada yang bertugas membangun dan menjaga jaringan irigasi. ”Faktanya, sudah dua tahun bendungan di Gunung Jati dan Tawangsari, Cirebon, rusak dan tidak diperbaiki,” ujarnya.
Jika tidak rusak, dua bendungan itu bisa mengairi lebih dari 2.000 hektar sawah. Kini, karena kedua bendungan tak berfungsi baik, air tak terbendung saat hujan sehingga tak ada air yang tersisa ketika kemarau. Dampaknya, petani kerap terlambat tanam gara-gara menunggu air.
Di Indramayu barat, kekeringan masih mengancam hingga Bendung Cipanas selesai dibangun pada 2023. Adapun Waduk Jatigede di Sumedang belum optimal karena penggenangannya terkendala pembangunan jalan lingkar. Waduk itu ditargetkan memasok air untuk 90.000 hektar lahan di Majalengka, Indramayu, dan Cirebon.
Di antara peliknya persoalan itu, dahaga ”Dewi Sri” belum juga terobati. Wajahnya semakin merah. Entah akan mati atau memberikan bahagia bagi orang di sekitarnya kelak.