Investasi industri diandalkan dalam menciptakan lapangan kerja, mengisi kebutuhan pasar domestik atau substitusi impor, hingga menghasilkan devisa ekspor.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
Ada harapan agar sektor industri di Indonesia terus berkembang dan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi negeri ini. Investasi industri diandalkan dalam menciptakan lapangan kerja, mengisi kebutuhan pasar domestik atau substitusi impor, hingga menghasilkan devisa ekspor.
Harapan ini tidak berlebihan. Lapangan kerja dibutuhkan untuk mengatasi persoalan pengangguran. Badan Pusat Statistik mendata, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia per Februari 2019 sebesar 5,01 persen. Artinya, 5,01 persen dari angkatan kerja di Indonesia menganggur.
Populasi besar Indonesia menciptakan pasar. Kondisi geografis lengkap dengan segala pernak-pernik tantangannya juga memunculkan berbagai kebutuhan produk maupun kebutuhan atas jasa.
Maka, sudah menjadi hal yang wajar tatkala sektor industri di dalam negeri menjadi tumpuan harapan agar mampu mengisi kebutuhan domestik tersebut. Misalnya, sebagai negara kepulauan dengan belasan ribu pulau, Indonesia jelas membutuhkan banyak kapal.
Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia memperkirakan, volume impor kapal, baik baru maupun bekas, rata-rata sebanyak 1.000 unit per tahun. Nilainya pada 2018 lebih dari 1 miliar dollar AS.
Pertanyaannya kemudian, seberapa besar kemampuan industri galangan kapal di Tanah Air mengoptimalkan penggarapan pasar domestik dan ekspor? Keunggulan industri galangan seperti itu diharapkan akan memunculkan manfaat lain, di antaranya, pertumbuhan industri komponen kapal.
Namun, alih-alih unggul menggarap pesanan dari luar negeri, pelaku industri galangan Indonesia menyadari, mereka belum optimal menggarap pasar domestik. Data Kementerian Perindustrian (2018) mengonfirmasi hal ini.
China, Korea Selatan, dan Jepang tercatat sebagai tiga negara yang mendominasi pesanan pembangunan kapal baru. Pada 2017, pembangunan kapal baru di China sebesar 29,184 juta gros ton (GT), sedangkan di Korea Selatan 25,468 juta GT, dan Jepang 14,733 juta GT.
Adapun di Indonesia baru sebanyak 218.300 GT. Data yang timpang itu menunjukkan kesenjangan yang sangat lebar dalam menggarap pasar. Selama ini, pelaku usaha galangan mendambakan kebijakan yang mampu membuat industri galangan Indonesia berdaya saing. Dengan cara ini, harga kapal produk dalam negeri akan kompetitif dibandingkan dengan kapal impor.
Bea masuk impor kapal sebesar nol persen jelas akan memengaruhi daya saing industri galangan nasional. Belum lagi bicara komparasi suku bunga pinjaman perbankan antara di Indonesia dan negara-negara pesaing.
Menurut Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo), industri galangan kapal dalam negeri masih menanggung suku bunga pinjaman dari bank sekitar 11-13 persen. Iperindo membandingkan, suku bunga pinjaman bank di China hanya 5-6 persen, sedangkan di Jepang bisa 1-2 persen. Kondisi tersebut tak urung ikut menyebabkan harga kapal produksi dalam negeri menjadi lebih mahal dibandingkan dengan kapal impor.
Kondisi ini seperti dejavu, ketika pada pertengahan Juni 2019 masih mendengar penjelasan dari Iperindo mengenai hal seperti ini. Substansi persoalan tersebut sudah tersuarakan sejak beberapa tahun lalu. Namun, hingga kini solusinya masih harus terus ditunggu. (C ANTO SAPTOWALYONO)