Hitungan Dekade Mengatasi Ketertinggalan Desa
Keberhasilan pembangunan desa tidak lagi cukup hanya dinilai dari seberapa banyak desa yang tergolong berhasil mencapai angka-angka indeks kemajuan pembangunan yang tinggi. Bagaimana memacu capaian desa-desa yang tergolong di bawah rata-rata jauh lebih dipentingkan guna memangkas jarak perbedaan.
Keberhasilan pembangunan desa tidak lagi cukup hanya dinilai dari seberapa banyak desa yang tergolong berhasil mencapai angka-angka indeks kemajuan pembangunan yang tinggi. Bagaimana memacu capaian desa-desa yang tergolong di bawah rata-rata jauh lebih dipentingkan guna memangkas jarak perbedaan.
Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) berwujud Indeks Pembangunan Desa (IPD) menarik dicermati. Berdasarkan indeks tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemerintah kali ini tergolong berhasil meningkatkan pembangunan desa. Sebagai bukti, sepanjang lebih kurang lima tahun terakhir (2014-2018) telah terjadi peningkatan kualitas pembangunan desa yang cukup signifikan di negeri ini.
Jika pada tahun 2014 skor IPD total sebesar 59,36, pada tahun 2018 skornya mencapai 59,36. Artinya, dalam kurun hampir lima tahun terakhir sudah terjadi peningkatan hingga 3,65.
Indikasi yang paling jelas, dengan mengacu hasil indeks tersebut, sudah terjadi peningkatan kategorisasi kualitas desa dari 73.670 desa yang dikaji. Bagian terbesar dari semua desa sudah terkategorikan sebagai ”desa berkembang”. Bahkan, saat ini sudah banyak desa yang berubah status menjadi ”desa mandiri”. Dari segi jumlah, jika pada tahun 2014 teridentifikasi masih sebanyak 2.894 desa berkategori desa mandiri, pada tahun 2018 jumlahnya menjadi 5.559 desa atau meningkat hampir dua kali lipat.
Kondisi sebaliknya terjadi, jumlah desa dengan kategorisasi ”desa tertinggal menurun. Apabila pada tahun 2014 masih terdapat 19.750 desa berkategori desa tertinggal, kini tersisa 13.232 desa. Dengan demikian, desa tertinggal susut sepertiga dari jumlah semula.
Dengan menggunakan ukuran normal, tentu saja peningkatan indeks desa semacam itu menjadi suatu prestasi yang membanggakan. Strategi pembangunan yang diwujudkan dengan lebih banyak memberikan perhatian dan dukungan terhadap perubahan pada skala kemajuan desa mulai berbuah. Hanya saja, dalam potret kesenjangan yang selama ini sudah sedemikian lebar terbentuk, tidak cukup tampaknya memandang kemajuan desa yang tergambarkan dalam IPD sebagai suatu prestasi.
Kemajuan substanstif terhadap desa akan menjadi lebih bermakna banyak jika terjadi percepatan pembangunan di wilayah-wilayah yang justru selama ini terposisikan pada lapis bawah Indeks Pembangunan Desa. Hanya dengan mempercepat capaian kemajuan desa-desa pada lapis bawah tersebut, jarak senjang pembangunan semakin menipis.
Permasalahannya, dengan menggunakan peta konfigurasi kemajuan desa yang tergambarkan dalam IPD, wilayah-wilayah mana yang menjadi penting diperhatikan kini? Begitu pula, dengan menggunakan laju kemajuan setiap desa yang terjadi selama ini pada wilayah-wilayah papan bawah IPD, berapa lama ketertinggalan dapat teratasi?
Jika ukuran rata-rata skor IPD nasional digunakan (59,36), terdapat 15 provinsi yang skor pembangunan desanya tergolong di bawah rata-rata capaian semua desa di Indonesia.
Semua wilayah merupakan desa-desa yang tersebar di luar Pulau Jawa. Di Pulau Sumatera, desa-desa di Sumatera Utara, Bengkulu, Kepulauan Riau, Aceh, dan Sumatera Selatan tergolong di bawah rata-rata. Jika ditelisik lebih jauh, umumnya berbagai dimensi persoalan, seperti pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, akses transportasi, dan pelayanan umum, lebih rendah dari ukuran nasional. Kondisi demikian semakin diperparah oleh rendahnya capaian aspek penyelenggaraan pemerintahan desa.
Di kawasan Sumatera, gambaran paling nyata tampak pada kondisi Sumatera Utara. Dari 5.437 desa yang terangkum dalam indeks ini, 27 persen masuk dalam kategori desa tertinggal. Sebaliknya, hanya tercatat 10,1 persen tergolong sebagai desa mandiri. Kondisi demikian menempatkan provinsi ini sebagai yang terendah dari semua provinsi di kawasan Sumatera.
Apabila dielaborasi lebih jauh pada level kabupaten ataupun kota, capaian pembangunan desa di Sumatera Utara menjadi lebih beragam. Dari 27 kabupaten dan kota yang terdata, 13 wilayah di bawah rata-rata.
Dari jumlah tersebut, kelima wilayah kabupaten di Pulau Nias tergolong jauh di bawah rata-rata. Kabupaten Nias Selatan menjadi yang paling rendah. Jika ditelusuri, 80,4 persen dari 459 desa di sana berkategori desa tertinggal.
Kondisi desa yang tidak jauh berbeda terdapat di Kalimantan, terutama di Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara. Di Kalimantan Utara, Kabupaten Nunukan menjadi yang paling rendah. Dari 232 desa di kabupaten ini, tidak ada satu pun yang tergolong desa mandiri.
Sebaliknya, 78,5 persen masuk kategori ”desa terbelakang”. Sementara di Kalimantan Barat, dari 391 desa di Kabupaten Sintang, dua pertiga tergolong desa tertinggal.
Kondisi yang paling memprihatinkan terjadi pada kawasan timur Indonesia. Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua paling banyak menjadi representasi ketertinggalan desa di negeri ini. Kawasan Nusa Tenggara merujuk pada Nusa Tenggara Timur.
Pada wilayah tersebut, di Kabupaten Sumba Tengah dan Timor Tengah Selatan, indeks desa tergolong rendah. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan beberapa kabupaten di Maluku, seperti Kepulauan Aru dan Pulau Taliabu. Di Kabupaten Kepulauan Aru bahkan tidak ada satu pun desa yang tergolong mandiri.
Dibandingkan dengan desa-desa di semua provinsi ataupun kabupaten dan kota di Indonesia, desa di Papua dan Papua Barat menjadi wilayah yang paling rendah capaian pembangunannya. Besaran IPD di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat pada kisaran skor 40, masih jauh di bawah rata-rata nasional.
Besaran IPD di Papua Barat sebesar 38,15. Dari besaran tersebut, 82 persen dari total 1.892 desa di sana tergolong desa tertinggal. Capaian indeks paling rendah terdapat di Kabupaten Tambraw dengan skor 29,63. Sementara yang paling tinggi capaiannya terdapat di ibu kota provinsi, Manokwari, dengan sebesar 49,66. Sekalipun tertinggi di provinsi, di Manokwari, lebih dari separuh desa di sana (54,88 persen) masih tergolong desa tertinggal.
Kondisi di Papua menjadi yang paling terendah. Skor IPD Papua sebesar 34,67. Pada provinsi ini, 87,1 persen dari 5.456 desa tergolong desa tertinggal. Begitu pula dari total 29 kabupaten dan kota yang dikaji, 13 kabupaten berada di bawah rata-rata Papua.
Semua gambaran ketertinggalan desa-desa di wilayah kabupaten ataupun provinsi tidak juga berarti keterpurukan mutlak yang bersifat statis. Sebenarnya, pada sebagian besar wilayah tersebut juga terjadi peningkatan capaian pembangunan sebagaimana yang diungkapkan dalam indeks. Kecuali desa-desa di Kabupaten Tambraw, Papua Barat, dan beberapa kabupaten lain yang tergolong kecil peningkatannya, seperti Nias Selatan dan Sintang, terjadi peningkatan yang cukup signifikan.
Bahkan, pada beberapa kabupaten tampak terjadi peningkatan yang relatif besar, di atas rata-rata peningkatan indeks nasional. Kabupaten Nduga, Pegunungan Arfak, Tolikara, Kepulauan Aru, dan Kepulauan Konawe masuk dalam kategori meningkat pesat.
Akan tetapi, peningkatan capaian dari sebagian besar kabupaten tersebut menjadi serba relatif, terutama jika dikaitkan dengan kemajuan yang dicapai oleh desa-desa lain di negeri ini. Sekalipun meningkat, dengan posisi indeks yang sudah telanjur rendah selama ini, sulit bagi setiap kabupaten mengatasi ketertinggalannya.
Menggunakan ukuran yang normal, yaitu menjadikan IPD nasional (skor 59,36) sebagai titik tujuan pencapaian, masih terlalu lama bagi kabupaten-kabupaten yang tergolong banyak memiliki desa tertinggal untuk mengejarnya. Bagi Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, misalnya, dengan pencapaiannya selama ini, diperlukan waktu hingga 17,7 tahun untuk mengejar rata-rata skor IPD nasional.
Bahkan, bagi beberapa kabupaten yang tergolong lamban pertumbuhannya, dibutuhkan waktu lebih lama lagi. Kabupaten Nias Selatan menjadi wilayah yang paling mengkhawatirkan. Dengan capaian selama ini yang tergolong rendah, diperlukan hingga 42,5 tahun untuk mengejar posisi sama dengan rata-rata angka indeks nasional.
Apalagi yang dijadikan standar kemajuan kabupaten ataupun kota yang sudah tergolong tertinggi secara nasional seperti Denpasar, Bali (skor IPD 80,26), serta beberapa kabupaten di DI Yogyakarta, dapat dibutuhkan lebih dari separuh abad untuk mengejarnya.
Suatu kondisi yang teramat jauh dari yang selama ini tergambarkan di balik kemajuan capaian pembangunan desa. Itulah mengapa, pada wilayah-wilayah terpuruk semacam ini, keberpihakan sangat diperlukan. (LITBANG KOMPAS)