Insentif fiskal yang digulirkan pemerintah untuk sektor properti dinilai belum akan optimal menggerakkan sektor properti. Pasar properti segmen menengah atas yang diharapkan bangkit melalui insentif tersebut dinilai masih minim.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Insentif fiskal yang digulirkan pemerintah untuk sektor properti dinilai belum akan optimal menggerakkan sektor properti. Pasar properti segmen menengah atas yang diharapkan bangkit melalui insentif tersebut dinilai masih minim.
Pemerintah memangkas tarif pajak penghasilan hunian mewah dari 5 persen menjadi 1 persen. Batasan nilai hunian mewah yang kena Pajak Penghasilan juga dinaikkan dari Rp 5 miliar-Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar. Insentif itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86 Tahun 2019.
Pemerintah juga meningkatkan batasan nilai hunian mewah kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 20 persen menjadi Rp 30 miliar. Harapannya, hal itu bisa memacu kinerja sektor properti.
Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto dalam paparan di Jakarta, Rabu (3/7/2019), mengemukakan, insentif fiskal diharapkan membangkitkan pasar hunian. Namun, dampaknya dinilai tidak akan besar untuk menggerakkan sektor properti karena segmen hunian seharga Rp 10 miliar-Rp 30 miliar sangat terbatas.
Hingga tahun 2022, terdata akan ada pasokan 248.790 unit apartemen di Jakarta. Dari jumlah itu, pasokan baru unit apartemen dengan harga Rp 10 miliar-Rp 30 miliar untuk segmen menengah ke atas itu hanya 999 unit atau 0,4 persen dari jumlah pasokan.
”Dampak dari insentif fiskal tidak luas. Proyek hunian kelas atas hanya sedikit sehingga (insentif fiskal) sulit berdampak luas terhadap sektor properti,” kata Ferry.
Meski dampaknya kecil, lanjutnya, insentif fiskal dinilai memberikan sentimen positif bahwa pemerintah mendorong sektor properti lebih baik.
Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pada tahun 2018, perekonomian Indonesia tumbuh 5,17 persen. Akan tetapi, sektor properti hanya tumbuh 3,58 persen.
Di sisi lain, akar persoalan sektor properti belum tersentuh. Permintaan properti terbesar saat ini adalah dari konsumen segmen menengah dengan harga properti di kisaran Rp 500 juta-Rp 2 miliar per unit. Segmen pasar terbesar ini masih kesulitan menjangkau hunian karena terkendala suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang dinilai masih tinggi.
Director Advisory Services Colliers International Indonesia Monika Koesnovagril menyatakan, insentif fiskal dinilai belum menyentuh akar persoalan properti. Segmen kelas menengah properti selama ini paling terkendala dalam menjangkau hunian. Padahal, pasar segmen menengah memiliki persentase paling besar.
”Kebijakan belum menyentuh akar persoalan perumahan. Perlu ada kemudahan untuk pembebasan lahan dan harga tanah untuk menjangkau kelas menengah yang merupakan segmen terbesar,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara menyatakan, sektor properti terkait erat dengan perekonomian karena memiliki dampak besar terhadap sektor penopang, seperti konstruksi, perdagangan, dan jasa keuangan.
”Saat ini, permintaan sektor properti residensial melemah. Pengembang berminat membangun hunian mewah karena margin penjualan bisa 100 persen atau lebih,” ujar Suahasil.
Editor:
Mukhamad Kurniawan
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.