Inung Rio, harimau sumatera yang dirawat di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di Dharmasraya, Sumatera Barat, akhirnya mati setelah 21 hari menjalani rehabilitasi. Harimau jantan dari Riau itu mati akibat gejala pneumonia atau radang paru.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Inung Rio, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang dirawat di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di Dharmasraya (PR-HSD), Sumatera Barat, akhirnya mati setelah 21 hari menjalani rehabilitasi. Harimau jantan dari Riau itu mati akibat gejala pneumonia atau radang paru. Inung Rio mati pada 15 April 2019, tetapi baru diumumkan resmi kepada publik pada 3 Juli 2019.
”Sudah dipastikan pneumonia. Terlihat dari sampel darah dan hasil nekropsi (bedah bangkai). Konfirmasi penyebab infeksinya kami belum tahu,” kata Catrini Kubontubuh, Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, pengelola PR-HSD, Kamis (4/7/2019), ketika dihubungi dari Padang.
Hariamau berusia tiga tahun dengan berat 95 kilogram itu ditemukan terjerat di kawasan hutan Semenanjung Kampar, wilayah administrasi Desa Sangar, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat (22/3/2019). Selain Inung Rio, petugas patroli hutan dari Restorasi Ekosistem Riau PT Gemilang Cipta Nusantara juga terperangkap di jerat lainnya.
Keduanya dapat diselamatkan, tetapi Inung Rio mengalami infeksi serius pada luka di kaki kiri depan dan dehidrasi diduga akibat terjerat selama tiga hari (Kompas, 27/3/2019). Atas berbagai pertimbangan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau menitipkan Inung Rio ke BKSDA Sumbar. Inung Rio direhabilitasi di PR-HSD yang memiliki fasilitas baik dan lengkap.
Catrini menjelaskan, Inung Rio masuk ke PR-HSD sejak 25 Maret. Ketika masuk, kondisi Inung Rio memang tidak bagus, baik karena stres maupun karena luka parah di kaki depan kirinya akibat jerat. Inung Rio pun menjalani proses karantina selama 14 hari.
Menurut Catrini, beberapa hari setelah masuk proses karantina, kondisi luka Inung Rio membaik. Aktivitasnya terlihat normal dan masih memiliki sifat keliaran meskipun luka di kaki menghambat aktivitas dan sempat demam dengan suhu tubuh lebih dari 40 derajat celsius.
Akan tetapi, terkait kondisi di dalam tubuh, kata Catrini, dokter belum mengetahui karena perlu uji laboratorium secara detail. Waktu itu kondisinya belum memungkinkan untuk uji laboratorium. Inung Rio diduga sudah terjangkit penyakit sejak dari hutan.
Hingga 12 April, kondisi dan nafsu makan Inung Rio masih baik. Namun, pada 14 April, aktivitas Inung Rio menurun. Dia hanya mendekat dan menjauhi lampu treatment infra red. Inung Rio mengalami kerontokan rambut, air liur berlebih, mata berair, kehilangan nafsu makan, serta peningkatan frekuensi napas.
”Setelah proses karantina, kondisinya bagus semua, meningkat menuju normal. Namun, tiba-tiba saja muncul penyakit dari dalam (dan tidak terselamatkan),” ujar Catrini.
Ditemui terpisah, Kepala BKSDA Sumbar Erly Sukrismanto membenarkan Inung Rio mati karena pneumonia. Bakteri pemicu infeksi diperkirakan sudah ada di dalam tubuh Inung Rio, baik didapat selama hidup di dalam hutan maupun selama terjerat dan proses evakuasi yang butuh waktu sekitar 22 jam.
”Kami masih menunggu konfirmasi hasil laboratorium histopatologi untuk memperkuat penyebab kematian. Dari pengujian itu, akan diketahui infeksi mikroorganisme tertentu yang memicu pneumonia,” kata Erly.
Erly melanjutkan, kabar mengenai kematian Inung Rio memang sengaja baru dipublikasikan karena menunggu hasil pemeriksaan penyebab kematian. Hal itu perlu dilakukan agar tidak menimbulkan berita yang simpang siur di tengah masyarakat.
”Jika langsung diumumkan, kami khawatir belum bisa menjelaskan secara persis penyebab kematiannya. Kalau tidak jelas, nanti beritanya simpang siur. Padahal, petugas sudah berusaha dengan serius dan sebaik-baiknya merehabilitasi (Inung Rio),” ujar Erly.