Kerja berat merestorasi lingkungan gambut yang rusak akibat kebakaran lahan tidak hanya sekadar membangun sekat kanal untuk membasahi gambut kering. Tumbuhnya kepedulian warga untuk berpartisipasi dengan kemauan sendiri terlibat dalam setiap kegiatan restorasi menjadi hal utama.
Oleh
·3 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS – Kerja berat merestorasi kawasan gambut yang rusak akibat kebakaran lahan tidak hanya sekadar membangun sekat kanal. Tumbuhnya kepedulian warga untuk berpartisipasi dengan kemauan sendiri terlibat dalam setiap kegiatan restorasi, menjadi hal utama.
Demikian benang merah diskusi Kajian Kebakaran Gambut di Wilayah Terintervensi Restorasi (Badan Restorasi Gambut) di Riau yang dilaksanakan lembaga Pantau Gambut di Pekanbaru, Kamis (4/6/2019) petang. Kajian itu berdasarkan tinjauan lapangan di 10 desa yang tersebar di empat kabupaten di Provinsi Riau, pada Maret 2019.
“Kepedulian masyarakat sangat penting. Sekitar 99 persen kebakaran lahan dan hutan adalah akibat ulah manusia,” kata Muslim Rasyid, Dinamisator Badan Restorasi Gambut wilayah Riau.
Raras C Fitri dari Pantau Gambut menyebutkan, hasil pengamatan dari 10 desa menunjukkan kondisi berbeda. Desa yang sudah diintervensi Badan Restorasi Gambut (BRG), dengan sekat kanal yang dipelihara bersama oleh masyarakat yang kompak ternyata tidak pernah mengalami kebakaran lagi sejak tiga tahun terakhir.
Sebaliknya, meski desa sudah memiliki infrastruktur baik, tapi warganya tidak kompak, kebakaran saja terjadi. Adapun, desa yang sudah direncanakan program restorasi, tapi belum terlaksana, senantiasa mengalami kebakaran.
Kajian ini, kata Raras, merupakan hasil riset lapangan dan wawancara warga. Salah satu contoh baik, ada di Desa Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis. Sejak 2014, sudah ada kegiatan restorasi di desa itu. Infrastruktur sekat kanal mereka sangat bagus. Partisipasi masyarakat juga sangat bagus. Pemerintah desa bahkan menganggarkan dana desa untuk perbaikan sekat kanal setiap tahun.
"Sebaliknya, di Lukun (Kabupaten Meranti) dan Teluk Makmur (Dumai), kebakaran masih terjadi meski sudah diintervensi restorasi. Sedangkan di Pulau Rupat, restorasi belum sempat dilaksanakan dan kebakaran senantisa terjadi,” kata Raras. Dari kajian tersebut, Raras menyimpulkan, keberhasilan restorasi gambut harus disokong tiga komponen yaitu alokasi pendanaan, pemeliharaan infrastuktur, dan keterlibatan masyarakat untuk berpatroli.
Koordinator Simpul Gambut Riau Romes Irawan Putra, yang ikut dalam riset bersama Pantau Gambut, mengatakan, program restorasi gambut masih belum efektif. Selain itu, banyak infrastuktur yang dibangun belum memiliki kualitas seperti yang diharapkan.
“Masih banyak yang belum berjalan di lapangan. Perlu sinergi serius dari pemerintah daerah untuk memperbaikinya. BRG adalah fasilitator, sementara pelaksana sesungguhnya (semestinya) Pemerintah Provinsi Riau. Peran Pemprov terutama kebijakan dan anggaran sangat diperlukan,” ujar Romes.
Meski demikian, Romes mengakui, intervensi restorasi gambut di Riau oleh BRG sudah mampu menekan angka kemunculan titik panas di Riau dalam tiga tahun terakhir.
Salman, Kepala Desa Sungai Segajah Jaya, Rokan Hilir, kepedulian warga sebenarnya sudah terbina. Hanya saja, warga belum memiliki peralatan memadai untuk memadamkan kebakaran dengan cepat.
“Sampai hari ini api masih membakar lahan di desa kami seluas sekitar 60 hektar. Kami tidak dapat memadamkan dengan cepat sewaktu api masih kecil. Pompa kami hanya memiliki selang sepanjang 200 meter. Padahal, kebakaran terjadi sejauh dua kilometer dari sumber air,” kata Salman.